SUKU
LOM
BANGKA
BELITUNG
Negara
Republik Indonesia merupakan negara dengan keberagaman, mulai dengan
keberagaman hayati, hewani, agama dan suku bangsa. Berbicara tentang suku,
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah suku bangsa terbanyak. Hal ini
lah yang menyebabkan bangsa Indonesia rukun dan saling menghargai satu sama
lain walaupun dalm keadaan berbeda agama ataupun suku. Suku merupakan suatu golongan manusia yang
anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan
garis keturunan yang dianggap sama. Dari setiap provinsi yang ada di
indenesia, setidaknya lebih dari 1 suku hidup dan tinggal didalam provinsi
tersebut. Bangka Belitung misalnya, disana ada satu suku yang bernama suku
Lom. Suku Lom merupakan suku yang berada
di Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka. Mengenai asal-usul suku Lom sendiri, masih dijadikan
perbincangan dan perdebatan oleh penduduk setempat, karena suku Lom sendiri
tidak memiliki catatan sejarah yang pasti.
Demi
mencari asal-usul , seorang tetua adat setempat menceritakan bagaimana asal
usul suku ini dari cerita yang di ceritakan lisan secara turun temurun. Akan
tetapi, cerita yang di tuturkan secara lisan masih dipertanyakan keakuratannya,
karena apapun yang di ceritan secara lisan dan turun temurun pasti akan
menyusut setiap waktunya seiring dengan kepergian leluhur sebelumnya. "Saya
tidak banyak tahu sehingga sulit menjelaskan dari mana asal- usul nenek moyang
kami. Kami percaya, dahulu ada Kek Anta yang sangat sakti. Konon kami ini termasuk
keturunannya," ujar Sairin, salah seorang tetua suku Lom.
Tetua
disana menyebutkan legenda tentang Kek Anta ,seorang kakek sakti yang dipercaya
sebagai moyang mereka dan banyak dihubungkan dengan peninggalan batu yang
menyimpan bekas telapak kaki Kek Anta di sekitar Pantai Pejam, Belinyu.
"Alkisah, ada seorang sedang mengintip rusa untuk ditombak. Saat itu Kek
Anta kebetulan lewat, lalu memanggil si pemburu. Tetapi, orang itu hanya diam
saja seperti batu. Kek Anta langsung mengutuknya sehingga benar-benar menjadi
batu," tutur Sairin.
Seorang
peneliti dari Norwegia yang pernah tinggal selama beberapa tahun di tengah suku
Lom, Olaf H Smedal, menulis buku yang menarik, Orang Lom: Preliminary Findings
on a Non-Muslim Malay Group in Indonesia (1988). Menurut Smedal, terdapat
catatan anonim berangka tahun 1862 yang menceritakan dua legenda asal-usul Suku
Lom. Kedua legenda itu masih hidup di tengah suku Lom hingga sekarang.
Salah
satu legenda menceritakan, sekitar abad ke-14 Masehi, sebuah kapal yang ditumpangi
sekelompok orang dari daerah Vietnam terdampar dan rusak di pantai Tanjung
Tuing, Kecamatan Belinyu. Semua penumpang tewas, kecuali dua lelaki dan satu
perempuan. Ketiga orang asing itu membuat perkampungan tersendiri di daerah
Gunung Pelawan, Belinyu. Legenda lain mengisahkan, suku Lom merupakan keturunan
pasangan lelaki dan perempuan yang muncul secara misterius dari Bukit Semidang
di Belinyu setelah banjir besar surut.
Ketua
Lembaga Adat Provinsi Bangka Belitung Suhaimi Sulaiman memperkirakan, suku Lom
merupakan keturunan dari bangsawan Majapahit di Mojokerto, Jawa Timur, yang
lari karena tidak mau memeluk Islam, sekitar abad ke-16 Masehi. Kaum pelarian
itu menyeberangi laut untuk mencari penghidupan baru dan terdampar di Tanjung
Tuing. Mereka masuk ke pedalaman di daerah Gunung Muda dan membuat perkampungan
di tengah hutan yang tersembunyi. Karakter sebagai pelarian membuat suku itu
hidup dengan menutup diri dari dunia luar. "Suku itu sering juga disebut
sebagai suku Mapur karena tinggal di dekat daerah Mapur," tutur Suhaimi.
Lepas
dari semua cerita itu, sebagian besar
masyarakat Kepulauan Bangka Belitung yakin, suku Lom merupakan suku tertua di
daerah tersebut. Budayawan muda yang tinggal di PangkalPinang, Willy Siswanto,
memperhitungkan, suku Lom berasal dari komunitas Vietnam yang mendarat dan
menetap di daerah Gunung Muda, Belinyu, sekitar abad ke-5 Masehi. Jadi, suku
itu telah ada jauh sebelum Kerajaan Sriwijaya yang berkembang abad ke-7 Masehi
dan kuli kontrak timah dari China berdatangan sekitar abad ke-18 Masehi. "Orang-orang
Lom merupakan komunitas yang pertama kali mendiami daerah Bangka Belitung.
Tidak ada catatan sejarah yang menceritakan suku lain sebelum suku Lom,"
papar Willy Siswanto.
Hal
lain yang banyak dibicarakan adalah misteri Bubung Tujuh yang berarti tujuh
rumah tertua di suku Lom. Masyarakat setempat percaya bahwa terdapat tujuh
keluarga yang merupakan keturunan pertama dari nenek moyang suku. Setelah
ayah-ibunya meninggal, ketujuh keluarga itu membuat rumah sendiri sebanyak tujuh
rumah di kaki bukit di tengah hutan. Rumah itu berbentuk rumah panggung yang
tinggi dengan atap daun nipah. Beberapa kalangan percaya, Bubung Tujuh sering
menampakkan diri pada orang-orang tertentu pada malam tertentu. Mitos itu
begitu menggoda sehingga masyarakat yang mengunjungi suku Lom sering penasaran
dan selalu menanyakan misteri ini. Namun, bagi suku Lom sendiri, Bubung Tujuh
sudah jadi mitos yang terlalu dibesar-besarkan.
"Saya
orang Lom asli dan hidup bersama sejak masih tinggal di hutan-hutan sampai
menetap di perkampungan. Tetapi, sampai sekarang saya tidak pernah menyaksikan
Bubung Tujuh. Itu terlalu dikarang-karang oleh orang luar saja," tandas Ny
Uded alias Tem. Tem, ibu kandung Kepala Dusun Air Abik, Tagtui, merupakan
penganut adat yang telah berusia 80 tahun.
Menurut
legenda, mulanya suku Lom hidup secara berkelompok di tengah hutan dan sering
berpindah-pindah mengikuti pembukaan ladang baru. Gaya hidup itu menyulitkan
aparat pemerintah setempat, terutama dalam melakukan pendataan penduduk secara
rutin. Sekitar tahun 1973 pemerintah Orde Baru menggiatkan Proyek Perkampungan
Masyarakat Terasing (PKMT) dengan membangun sekitar 75 rumah semipermanen di
daerah Dusun Air Abik. Rumah proyek itu berbentuk rumah kayu beratap genteng, berukuran
sekitar 4 x 4 meter.
Rumah
tersebut baru ditempati sekitar tahun 1977, dan sekarang telah menjadi kampung
yang dihuni sekitar 139 keluarga. Mereka ini sering disebut sebagai "Lom
Luar" karena telah hidup menetap di satu tempat dan bisa ditemui oleh
orang luar sewaktu- waktu.
"Awalnya
kami masih senang tinggal di hutan dan terus berpindah-pindah. Tetapi, Presiden
Soeharto itu baik hati karena mau menyediakan rumah gratis, memberi bahan
makanan, gula, dan kopi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah
lima tahun dibangun, akhirnya kami mau menempati kampung ini," tutur Tem.
Di
luar kampung itu, masih ada sekitar 40 keluarga yang tetap memilih hidup
berpindah-pindah dan mengandalkan hidup dari ladang berpindah. Mereka yang
disebut "Lom Dalam" ini hidup dalam kelompok-kelompok kecil atau
sendiri di tengah hutan yang lebat dengan jarak antarkelompok sekitar dua
sampai lima kilometer.
Perumahan
komunitas "Lom Dalam" masih semi permanen, berupa rumah panggung
dengan dinding kulit kayu dan atap daun nipah. Kehadiran mereka sulit dilacak
karena mereka bisa berpindah sewaktu-waktu tanpa diduga, dan perpindahan itu
menggunakan jalan tikus di tengah hutan yang bercabang-cabang dan
membingungkan. Bagi orang luar yang kurang memahami daerah itu, keberadaan
mereka menjadi misterius, antara ada dan tidak ada. Banyak orang bilang, suku
Lom Dalam misterius. Padahal sesungguhnya mereka hanya sulit dicari karena
cenderung bersembunyi dan terus berpindah-pindah tempat. Karakter kaum pelarian
masih melekat dalam benak mereka sehingga mereka menghindari kemapanan yang
mudah dilacak orang asing
Sekilas,
perkampungan di Air Abik hampir tidak jauh berbeda dengan perkampungan suku
Melayu atau masyarakat China peranakan di daerah Belinyu. Meski kondisi
beberapa rumah proyek masih tetap utuh sebagaimana pertama kali dibangun 28
tahun lalu, tetapi beberapa rumah telah dipugar menjadi rumah tembok permanen
yang mentereng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar