RASIONALISME
Rasionalisme,
secara etimologi berasal dari kata rationalism (Inggris). A.R. Lacey
menambahkan bahwa berdasarkan akar kata rasionalisme adalah pandangan yang
menyatakan (rasio) akal merupakan sumber pengetahuan. Akan tetapi, secara terminologis
aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal
merupakan sumber yang paling akurat dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi
(rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan
bebas (terlepas) dari pengamatan indrawi.
Dalam
pembahasan tentang suatu teori pengetahuan, maka Rasionalisme menempati sebuah
tempat yang sangat penting. Paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad
ke-17 dan ke-18, tokoh-tokohnya ialah Rene Descartes, Spinoza, Leibzniz, dan
Wolff, meskipun pada hakikatnya akar pemikiran mereka dapat ditemukan pada
pemikiran para filsuf klasik misalnya Plato, Aristoteles, dan lainnya.
Paham
ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar
oleh rasio manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang
ketat tentang dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia
dan tidak dijabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada
prinsip-prinsip ini.
Prinsip-prinsip
tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang tak lain
adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa
diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
Pemikiran;
saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa
pemikiran merupakan hakikat saya.
Tuhan
merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide
“sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu
akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai
keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh
ahli-ahli ilmu ukur.
Paham
Rasionalisme ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio.
Jadi dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia
harus dimulai dari rasio. Tanpa rasio maka mustahil manusia itu dapat
memperolah ilmu pengetahuan. Rasio itu adalah berpikir. Maka berpikir
inilah yang kemudian membentuk pengetahuan. Dan manusia yang berpikirlah yang
akan memperoleh pengetahuan. Semakin banyak manusia itu berpikir maka semakin
banyak pula pengetahuan yang didapat. Berdasarkan pengetahuanlah manusia
berbuat dan menentukan tindakannya. Sehingga nantinya ada perbedaan perilaku,
perbuatan, dan tindakan manusia sesuai dengan perbedaan pengetahuan yang
didapat tadi.
Namun
demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata.
Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan
dunia nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian,
kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya bekerja.
Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka
semakin dekat pula manusia itu kepada kesempurnaan.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar