FILOSOFI
RENDANG MINANG
Bagi Anda penikmat masakan Padang, kelezatan
rendang adalah sesuatu yang tidak perlu ditanyakan lagi. Sebagai icon−menu
andalan−rumah makan Padang, selain sambal ijo tentunya, rendang begitu digemari
oleh semua kalangan penikmat kuliner di negeri ini. Bahkan, tidak hanya di
Indonesia, kelezatan makanan khas orang Minang ini juga popular di luar negeri,
seperti Singapura dan Malaysia. Mungkin pula sedikit di antara Anda yang tahu,
kalau baru-baru ini rendang menjadi satu-satunya makanan khas Indonesia yang
masuk dalam daftar 50 makanan terenak di dunia versi CNN.
Berdasarkan hasil poling yang dilakukan oleh
CNN di situs jejaring sosial, rendang menempati posisi ke 11 sebagai makanan
terenak di dunia. Kelezatan makanan berbahan utama daging sapi dan santan ini
berhasil mengalahkan kelezatan Kebab Turki, Lasagna Italia, Fajitas Meksiko,
dan Pho Vietnam. Meskipun lezat itu adalah sesuatu yang relatif−lidah orang
beda-beda−hal ini tentu merupakan prestasi yang patut membuat kita bangga,
terkhusus lagi orang Minang. Lebih dari sekedar makanan lezat Di balik rasanya
yang begitu lezat, seperti umumnya makanan tradisional Indonesia, rendang
ternyata mimiliki nilai-nilai filosofi yang cukup menarik. Dalam kebudayaan
masyarakat Minangkabau, rendang memiliki posisi yang sangat terhormat. Tidak
mengherankan kalau makanan ini menjadi hidangan utama bagi orang Minang ketika
menjamu tamu istimewa.
Bagi masyarakat Minang, bahan-bahan yang
digunakan untuk membuat rendang seperti daging sapi (dagiang), kelapa
(karambia), cabe (lado), dan aneka bumbu lainnya (pemasak) merupakan
simbolisasi dari budaya musyawarah dalam masyarakat Minang yang melibatkan
empat unsur pokok, yakni Niniak Mamak (para pemimpin suku adat) yang
dilambangkan dengan daging sapi, Cadiak Pandai (cerdik pandai) yang
dilambangkan dengan kelapa, Alim Ulama yang tegas dalam mengajarkan agama
dilambangkan dengan cabe yang pedas, serta seluruh masyarakat Minang yang
dilambangkan oleh bumbu lainnya. Itulah rendang, salah satu makanan terenak di
dunia yang tidak hanya lezat di lidah, tetapi juga kaya akan nilai-nilai
budaya. Mengajarkan kepada kita bahwa dengan musyawarah akan lahir
keterpaduan−rasa−yang nikmat, meskipun dalam keberagaman. Sesuatu yang kian
hilang di negeri ini.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar