BALUNIJUK
BANGKA BELITUNG
.
Dahulu
desa Balunijuk merupakan bentangan hutan yang kondisi alamnya memiliki bukit berada di sebelah selatan antara desa Kimak dan Baturusa. Dari
desa Kimak, perjalanan
menuju Balujijuk ditempuh dengan jalan setapak melintasi hutan melalui
sungai, desa Limbung dan
desa Jadabarin hingga di kawasan perbukitan hutan Jelutung. Sedangkan tumbuhan yang
banyak tumbuh berupa pohon seru, ulin, medang, meranti terentang enau, nira, duren, duku,
cempedak, manggis, dll. Tdak jauh berbeda dengan hutan yang ada di Sumatera dan
Kalimantan. Pembukaan hutan tersebut dipelopori oleh
dua tokoh masyarakat yang
pemberani dari desa Kimak yaitu akek
Mail dan sahabatnya akek Sureh diperkirakan
antara tahun 1910 sampai
1915 ladang yang baru dibuka tersebut belum
memungkinkan untuk dijadikan tempat pemukiman penduduk.
Dimana pada waktu itu masih merupakan pondok (rumah
kebun) yang dindingnya terbuat dari kulit kayu sedangkan atapnya terbuat
dari daun Rumbia. Pada
waktu itu, kebun dan hutan merupakan sumber makanan, yang berlimpah untuk lauk
mereka mendapatkan dengan cara berburu binatang seperti pelanduk (kancil),
kijang, rusa, burung dll. Akeh Mail dan Akeh Sureh beserta teman-temannya
setiap habis dari huma/hume (padi) setiap pagi dan sore mereka beramai-ramai
mandi di Lelap yang letaknya takjauh dari jalan menuju desa
Jadahbahrin. Lama-kelamaan
dari masyarakat seberang utara yaitu Kimak berduyun-duyun mencoba membuka
hutan tersebut untuk pertanian terutama padi Tugalan, Singkong, Ubi Jalar,
Jagung dan palawija lainnya yang digunakan untuk kebutuhan makan sehar-hari.
Pembukaan lahan sebagai pertanian kian berlanjut, kali ini dilakukan oleh tokoh
masyarakat yang berasal dari Baturusa yaitu H. Satar, dan H. Suleh, yang membuka hutan disebelah timur
menjelang tahun 1918. Rute yang dilalui oleh kelompok masyarakat yang berasal
dari Baturusa ini, membuka jalan dari desa Pagarawan.
Lama-kelamaan dua kelompok masyarakat ini membaur,
sekarang ini bukti-bukti pembauran tersebut bila ditelusuru masih dapat
ditemukan yaitu untuk kelompok masyarakat dari Kimak tokoh-tokohnya antara laih
adalah: H. Sakni, H.Abdulah, H. Sahir, H.Yunus, Akek Pi’i, Akek Raye, dan Akek
Mu’in. Anak dan keturunannya mendominasi pemukiman tempat tinggal di dusun
II dan dusun III. Sedangkan untuk masyarakat dusun I didominasi dari keturunan
masyarakat yang berasal dari Baturusa. Kedua kelompok masyarakat ini hidup
secara rukun berdampingan dan saling menghargai satu dengan yang lainnya.
Sehingga pada perkembangannya kedua kelompok ini terjadi pembauran dan
melahirkan generasi baru. Lama-kelamaan komunitas ini semakin bertambah
sehingga berkembang menjadi perkampungan, sebelum menjadi desa pada tahun 1926
terbentuklah Kampung Baru yang
diketuai Oleh Mat Ali (menurut catatan kecamatan Baturusa), pada waktu itu
penamaan masih beragam sebagian penduduk ada yang menamakan Sinar Bukit dan
Kampung Bukit dibawah pemerintahan desa Baturusa. Setelah masa jabatan Mat Ali,
ketua berikutnya adalah Abdul Rasak, Zamhur, Zarkum, dan yang terahir adalah
Mustar Yakub.
Tidak dapat dipungkiri lagi, dari pembauran kedua
kelompok masyarakat tersebut kianlama-kian bertambah, hingga pada
perkembangannya begitu
pesat, yang tadinya kampung telah
meningkat menjadi Desa yaitu desa Balunijuk yang resmi terbentuk pada Tanggal .....(menurut dokumen
desa) dikepalai oleh Abu
Kasim sebagai Kades Pertama (Periode 1988-1993) berikutnya Suhaimi (Perode
1993-1999), Pjs.Kades Burhan (Periode1998-1999), Kades Abu Kasim ( Periode
1999-2004), Pjs.Kades Alinada (periode 2004-2005), Kades Ahmad Arifin (Periode
2005-2011 dan 2011-2017).
Desa Balunijuk terdiri dari tiga pedusunan yaitu
Dusun I memiliki wilayah
dari Line Listrik PT.Timah sampai dengan drainase H.Ibrahim, untuk Dusun
II dari drainese H. Ibrahim
sampai dengan drainase H.
Sulaiman, sedangkan Dusun III dari drainase H.Sulaiman sampai ke SPN untuk arah
barat, untuk arah utara sampai dengan gerbang yang ada di depan Pesantren
Jadabahrin dan sungai Baturusa.
Penamaan desa Balunijuk Bukan tanpa alasan,
mengingat setiap pagi dan sore kegiatan masyarakat terpusat di Lelap untuk mandi dan
mencuci pakaian seperti sudah menjadi tradisi yang secara turun-temurun diwariskan oleh
akek Mail dan sahabatnya akek Sureh. Di sekitar desa Balunjuk banyak terdapat
Lelap (sumber mata air) yang sering dimanfaatkan untuk mandi, oleh penduduk setempat menamakannya Lelap sebagai tempat pemandian yang dalam
bahasa melayu Bangka disebut juga Munjang atau Rawa/ Paya/Paye (Sumatera),
Sendang (Jawa), Salah
satunya adalah tempat lelap/munjang yang didekatnya memiliki pohon Ulin dan pohon Enau yang penduduk
asli menamakannya pohon Ijuk. Untuk
menyebut tempat yang sering didatangi
setiap hari sebagai tempat
pemandian yang berada ditengah desa itu
penduduk menyebutnya
munjang yang be-Ulin-Ijuk,
kata” be “ dalam bahasa Bangka mempunyai makna yang sama dengan “ber”
dalam bahasa Indonesia yang artinya
mempunyai atau memiliki, bila disebutkan secara cepat, kata tersebut menjadi Beulinijuk yang lama kelamaan menjadi Balunijuk, sehingga memiliki arti dalam bahasa
Bangka yang bertujuan untuk (mengataka
atau supaya mudah bila ada pertanyaan dari tetangga dimana beliau mandi atau
menggarap ladang, membuka lahan di lelap
be-pohon ulin dan pohon ijuk).
Pendapat lain mengatakan bahwa Balunijuk berasal
kata Bulin dan Ijuk yaitu pohon Bulin nama jenis kayu dalam bahasa melayu
disebut juga kayu Ulin, atau kayu Unglen (bahasa daerah Sumatera). Sedangkan
Ijuk Artinya batang Aren
dalam bahasa Melayu disebut juga pohon Enau kedua pohon tersebut berada di
tengah lelap tempat pemandian penduduk setempat, dimana terdapat pohon kayu
bulin yang sudah rebah/roboh, disitulah tumbuh pohon Ijuk. Sehingga dinamakan
lelap Bulinijuk yang lama-kelamaan menjadi
kata Balunjuk.
Selain itu, ada yang berpendapat bahwa Balunijuk merupakan jenis kayu yang
memang tumbuh di lelap tersebut, konon kayu tersebut berdiameter lebih dari
1meter, namun sekarang ini jenis kayu tersebut sudah tidak adalagi di daerah
ini (Balunijuk). Pernyataan ini bukan tanpa alasan mengingat di daerah Mendo
(Payabenua) konon mengatakan sebagian masyarakat ada yang masih mengenali
keberadaan dari jenis kayu ini.
Lelap atau tempat pemandian tersebut letaknya di tengah desa tepatnya 100 m
arah barat dari simpang Jadabahrin atau sebelah
kiri jalan menuju desa Airduren . Sekarang ini kedua pohon tersebut sudah tidak
ada lagi, hancur dimakan usia. Seiirng dengan perkembangan zaman
keberadaan munjang/lelap dengan luas 25 m2 merupakan tempat untuk melakukan
aktfitas mandi dan mencuci pakaian, sehingga keberadaanya yang berada dipnggir
jalan dirasa terlalu terbuka, kemudian pada sekitar tahun 2005 dibangunlah
tembok semen mengellingi lelap tersebut. Selain itu juga di bangun sarana MCK
yang diperuntukan bagi masyarakat.
Makna kata Balunijuk berasal dari kata (be-Ulin-Ijuk) memiliki filosofi yang
tinggi pada tatanan masyakat melayu, dimana kayu Ulin merupakan kayu yang
kuat dan kokoh, tak lapuk kar na hujan dan tak lekang karna panas, sedangkan
Ijuk bersifat lurus berwarna hitam memiliki filosofi yang lurus dan
rahasia/misteri. Awalan Be (bermakna memiliki ), sehingga bila disatukan
Balunjuk memiliki arti kuat dan lurus. Kuat dalam hal pendirian gigih, pantang
menyerah, tetap tegar dalam prinsip. Lurus memiliki makna selalu perpijak pada
jalan yang lurus/benar tidak bertentangan dengan ajaran agama. Ijuk memiliki
warna hitam, pada tradisi masyarakat melayu digunakan sebagai penunjuk
untuk/dalam belajar dan atau membaca Al-Qur’an. Warna hitam menandakan suatu
misteri atau rahasia Allah yang harus dibaca dan dipelajari, serta
dipahami/diamalkan oleh manusia.
Jadi secara harfiah pada masyarakat
Balunijuk selalu memiliki jiwa dan sifat yang tegar,
berani, dan pantang menyerah, namun tetap memegang sendi-sendi ajaran agama
yang kuat. Selain itu jiwa yang tertanam pada masyarakat Balunijuk merupakan
jiwa yang mau belajar dan berusaha untuk membuka rahasia Allah melalui
pendidikan dan ilmupengetahuan.
Hal ini dibuktikan dengan, di-era 80 hingga 90an
banyaknya masyakat Balunijuk yang mengirimkan pemuda-pemudinya untuk
menempuh pendidikan agama di pesantren-pesantren baik di Sumatra, Jawa,
bahkan Kalimantan.
Berdasarkan “Semangat Balunijuk” itulah yang dimiliki oleh para pemimpin dan
pemuka adat serta tokoh masyarakat Balunijuk, sekarang ini telah berdiri sarana pendidikan yang lengkap dari
pendidkan usia dini (PAUD), SD, Pesantren, Perguruan Tinggi Universitas Bangka
Belitung (UBB) bahkan Sekolah Polisi Negara (SPN) Air Buntet. Telah berdiri di
desa Balunijuk. Jadi, tidak-lah berlebihan apabila Pemerintah Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung menetapkan
Balunijuk sebagai daerah Pusat Pendidikan.
Konon,
masyarakat Balunijuk mulai menetap menjelang tahun 30an (perlu konfirmasi) hal
ini ditandai dengan adanya arsitektur rumah panggung yang semua bagiannya
terbuat dari kayu yang kini masih tersisa adalah rumah milik H. Pisah (mak
Pisah) bangunan rumah Limas yang kental dipengaruh oleh arsitektur khas
melayu masih terlihat
berdiri kokoh walaupun sudah tidak dihuni lagi.Merupakan bangunan yang cukup
megah pada zamannya.
Arsitektur rumah tua lainnya dtemui di Balunijuk
yaitu rumah kayu Pada bagian bawah (1m) terbuat dari semen, sedangkan bagian
rangka hingga diding terbuat dari kayu. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada
tahun 60an Penduduk asli Balunijuk merupakan campuran
keturunan dari desa Kimak
dan desa Baturusa yang secara sengaja membuka lahan untuk tujuan
berladang di Balunijuk. Lama kelamaan masyarakat yang tadinya berladang di Balunijuk
hingga akhirnya menetap. Kedatangan orang – orang tersebut bertujuan menggarap
tanah untuk pertanian dan berladang. Jadi pada waktu itu pertanian jadi
andalan.
Sampai saat ini (2014) diperkirakan masyarakat
Balunijuk telah memasuki era-generasi ke-5. Seperti misalnya keturunan dari H.
Satar dari Baturusa yang memiliki 7 orang anak yaitu Saidah, H. Wahid, Rofiah,
Bujang Kalok, Juneid, Mawi, dan Suaibah salah satu cucu dari H.Satar ini
yaitu Hj.Halimah. (72) anak
dari Alm. Suaibah.
Sedangkan Saidah (85) dan
Rofiah (87) masih sehat tetapi sudah mengalami kesulitan untuk berkomunikasi
karna faktor usia.
Hasil-hasil kebun berupa sayuran dan buah
di-era 70an dipasarkan kepasar terdekat waktu itu Pasar Pangkalbalam (sekarang
Pasar Rumput Pengkalbalam) dengan menggunakan transportasi jalan kaki atau
sepeda. Pada era 80an kejayaan masyarakat Balunijuk mengandalkan hasil bumi
berupa lada, nanas dan karet, dimana pada masa itu harga karet memilki nilai
perbandingan tiga kalilipat dari harga beras. Melemahnya harga karet dan
meningkatnya hama menyebabkan gagal panen lada menjadikan masyarakat balunjuk
beralih ke pertanian sayuran. Dengan perkembangan zaman lama-kelamaan
pengiriman sayuran menggunakan mobil, penduduk setempat menyebutnya Oto.
Pengiriman sayuran seperti sawi, kacangpanjang, terong, cabe, dll. Pernah
mengalami masa keemasan di-era 2000an seiring dengan masa kejayaan Penambangan
Timah Rakyat (Tambang- Inkovensional) atau TI. Pada masa itu pengiriman sayuran
dilakukan keberbagai daerah di Bangka seperti Belinyu, Jebus, Muntok dan Toboali.
Kuatnya ritual keagamaan yang melekat dimasyarakat
Balunijuk sampai sekarang
yang merupakan acara-acara ritual budaya peninggalan nenek moyang sebagai
bagian warisan budaya itu adalah warisan dari para alim ulama sebagai
sumbernya, tapi juga memang dari tradisi nenek moyang itulah yang sekarang
masih dilestarikan. Contohnya adalah Nganggung yaitu membawa makanan yang
terdiri dari nasi, sayur, lauk-pauk, dan buah yang dibawa ke masjid, surau atau
mushollah/langgar dengan menggunakan Dulang
atau Bintang untuk dimakan bersama-sama. Nganggung umumnya merupakan acara tradisi masyarakat
Bangka “sepintu sedulang” yang dilakukan saat perayaan hari raya baik acara
Idul Fitri maupun acara Idul Ad’ha. Tradisi nganggung diawali dengan membawa
makanan dari
masng-masing rumah menuju ke mushollah kemudian setelah terkumpul
dilanjutkan dengan acara do’a sesuai dengan perayaannya, setelah pembacaan do’a
makanan tersebut disantap bersama-sama. Suasana ikatan kebersamaan dan
kekeluargaan tercermin dalam rasa nilai-nilai keagamaan yang kuat. Dengan
nikmatnya lempa darat dan lempa kuning perlahan-lahan sirnanya rasa lapar dan haus, tumbuh
rasa senasip sepenangungan dan sepintu sedulang.
Kentalnya tradisi keagamaan di Balunijuk ditunjukkan
dengan adanya kegiatan nganggung yang tidakhanya dilakukan pada saat perayaan
hariraya saja, melaikan juga pada peringatan maulid nabi Muhammad SAW, perayaan
Satu Muharam, buka Puasa Enam (dilaksanakan pada dua minggu dari Idul fitri ), dan
nujuhari (hari ke-7 wafat). Khusus untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Masyarakat Balunijuk merayakannya dengan Hari Raya Maulid Nabi Muhammad SAW.
Uniknya pada perayaan itu suasana desa macet total dipenuhi oleh berbagai pengunjung
yang berdatangan dari berbagai daerah seluruh Bangka perayaan yang unik dan
cukup mewah terjadi pada masing-masing rumah dimana tersedia makanan dan
minuman yang boleh dinkmati oleh siapa saja yang berkunjung baik dikenali
ataupun tidak semua yang datang tetap disuguhi berbagai makanan.
Keberadaan UBB( Universitas Bangka Belitung) sebagai
kampus negeri sudah sepantasnya mendapatkan peranan yang besar dan dapat
dirasakan oleh masyarakat Balunijuk terbukti salah satunya
dengan diwujudkanya website desa Balunijuk yang dibuat oleh
dosen dan mahasiswa Jurusan teknik Elektro dan telah resmi diserah terimakan
pada kepala desa pada tanggal 21 Januari 2014 , mengenang 100 tahun
Kampung Baru atau Kampung Sinar Bukit yang dirintis oleh akik
Mail dan akik Sureh
S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar