Minggu, 25 Desember 2016

BALUNIJUK BANGKA BELITUNG

BALUNIJUK BANGKA BELITUNG

Dahulu desa Balunijuk merupakan bentangan hutan yang kondisi alamnya memiliki bukit   berada di sebelah selatan antara desa Kimak dan Baturusa. Dari desa Kimak,  perjalanan menuju Balujijuk ditempuh dengan jalan setapak melintasi hutan melalui sungai,  desa Limbung dan desa Jadabarin hingga di kawasan perbukitan hutan Jelutung.    Sedangkan tumbuhan yang banyak tumbuh berupa pohon seru, ulin, medang, meranti  terentang  enau, nira, duren, duku, cempedak, manggis, dll. Tdak jauh berbeda dengan hutan yang ada di Sumatera dan Kalimantan.  Pembukaan  hutan tersebut dipelopori oleh dua  tokoh masyarakat yang pemberani dari desa Kimak yaitu  akek Mail dan sahabatnya akek Sureh   diperkirakan antara  tahun 1910 sampai 1915 ladang yang baru dibuka tersebut  belum memungkinkan untuk dijadikan tempat pemukiman penduduk.
Dimana pada waktu itu masih merupakan pondok (rumah kebun) yang dindingnya terbuat dari kulit kayu sedangkan atapnya terbuat dari  daun Rumbia. Pada waktu itu, kebun dan hutan merupakan sumber makanan, yang berlimpah untuk lauk mereka mendapatkan dengan cara berburu binatang seperti pelanduk (kancil), kijang, rusa, burung dll. Akeh Mail dan Akeh Sureh beserta teman-temannya setiap habis dari huma/hume (padi) setiap pagi dan sore mereka beramai-ramai mandi di Lelap yang letaknya takjauh dari jalan menuju desa Jadahbahrin.   Lama-kelamaan dari masyarakat seberang utara yaitu Kimak berduyun-duyun mencoba membuka hutan tersebut untuk pertanian terutama padi Tugalan, Singkong, Ubi Jalar, Jagung dan palawija lainnya yang digunakan untuk kebutuhan makan sehar-hari. Pembukaan lahan sebagai pertanian kian berlanjut, kali ini dilakukan oleh tokoh masyarakat yang berasal dari Baturusa yaitu H. Satar, dan  H. Suleh,  yang membuka hutan disebelah timur menjelang tahun 1918. Rute yang dilalui oleh kelompok masyarakat yang berasal dari Baturusa ini, membuka jalan dari desa Pagarawan. 
Lama-kelamaan dua kelompok masyarakat ini membaur, sekarang ini bukti-bukti pembauran tersebut bila ditelusuru masih dapat ditemukan yaitu untuk kelompok masyarakat dari Kimak tokoh-tokohnya antara laih adalah: H. Sakni, H.Abdulah, H. Sahir, H.Yunus, Akek Pi’i, Akek Raye, dan Akek Mu’in. Anak dan keturunannya mendominasi pemukiman tempat tinggal di dusun II dan dusun III. Sedangkan untuk masyarakat dusun I didominasi dari keturunan masyarakat yang berasal dari Baturusa. Kedua kelompok masyarakat ini hidup secara rukun berdampingan dan saling menghargai satu dengan yang lainnya. Sehingga pada perkembangannya kedua kelompok ini terjadi pembauran dan melahirkan generasi baru. Lama-kelamaan komunitas ini semakin bertambah sehingga berkembang menjadi perkampungan, sebelum menjadi desa pada tahun 1926 terbentuklah Kampung Baru  yang diketuai Oleh Mat Ali (menurut catatan kecamatan Baturusa), pada waktu itu penamaan masih beragam sebagian penduduk ada yang menamakan Sinar Bukit dan Kampung Bukit dibawah pemerintahan desa Baturusa. Setelah masa jabatan Mat Ali, ketua berikutnya adalah Abdul Rasak, Zamhur, Zarkum, dan yang terahir adalah Mustar Yakub.  
Tidak dapat dipungkiri lagi, dari pembauran kedua kelompok masyarakat tersebut kianlama-kian bertambah, hingga pada perkembangannya  begitu pesat, yang tadinya kampung  telah meningkat menjadi Desa yaitu desa Balunijuk yang resmi terbentuk pada Tanggal .....(menurut dokumen desa)  dikepalai oleh Abu Kasim sebagai Kades Pertama (Periode 1988-1993) berikutnya Suhaimi (Perode 1993-1999), Pjs.Kades Burhan (Periode1998-1999), Kades Abu Kasim ( Periode 1999-2004), Pjs.Kades Alinada (periode 2004-2005), Kades Ahmad Arifin (Periode 2005-2011 dan 2011-2017).
Desa Balunijuk terdiri dari tiga pedusunan yaitu Dusun I  memiliki wilayah dari Line Listrik PT.Timah sampai dengan drainase H.Ibrahim, untuk Dusun II  dari drainese H. Ibrahim sampai dengan  drainase H. Sulaiman, sedangkan Dusun III dari drainase H.Sulaiman sampai ke SPN untuk arah barat, untuk arah utara sampai dengan gerbang yang ada di depan Pesantren Jadabahrin dan sungai Baturusa.        
Penamaan desa Balunijuk Bukan tanpa alasan, mengingat setiap pagi dan sore kegiatan masyarakat  terpusat di Lelap untuk mandi dan mencuci pakaian seperti sudah menjadi tradisi yang  secara turun-temurun diwariskan oleh akek Mail dan sahabatnya akek Sureh. Di sekitar desa Balunjuk banyak terdapat Lelap (sumber mata air) yang sering dimanfaatkan untuk mandi, oleh  penduduk setempat menamakannya Lelap sebagai tempat pemandian yang dalam bahasa melayu Bangka disebut juga Munjang atau Rawa/ Paya/Paye (Sumatera), Sendang (Jawa),  Salah satunya adalah tempat lelap/munjang yang didekatnya memiliki pohon  Ulin   dan pohon Enau yang penduduk asli menamakannya pohon Ijuk.  Untuk menyebut tempat yang sering  didatangi setiap hari  sebagai tempat pemandian yang berada ditengah desa  itu penduduk  menyebutnya munjang yang  be-Ulin-Ijuk, kata” be “ dalam bahasa Bangka mempunyai makna yang sama dengan “ber” dalam bahasa Indonesia yang  artinya mempunyai atau memiliki, bila disebutkan secara cepat, kata tersebut menjadi Beulinijuk yang lama kelamaan menjadi Balunijuk, sehingga memiliki arti dalam bahasa Bangka yang bertujuan untuk  (mengataka atau supaya mudah bila ada pertanyaan dari tetangga dimana beliau mandi atau menggarap ladang, membuka lahan di  lelap be-pohon ulin dan pohon ijuk).
Pendapat lain mengatakan bahwa Balunijuk berasal kata Bulin dan Ijuk yaitu pohon Bulin nama jenis kayu dalam bahasa melayu disebut juga kayu Ulin, atau kayu Unglen (bahasa daerah Sumatera). Sedangkan Ijuk Artinya  batang Aren dalam bahasa Melayu disebut juga pohon Enau kedua pohon tersebut berada di tengah lelap tempat pemandian penduduk setempat, dimana terdapat pohon kayu bulin yang sudah rebah/roboh, disitulah tumbuh pohon Ijuk. Sehingga dinamakan lelap Bulinijuk yang lama-kelamaan  menjadi kata Balunjuk.
Selain itu, ada yang berpendapat bahwa  Balunijuk merupakan jenis kayu yang memang tumbuh di lelap tersebut, konon kayu tersebut berdiameter lebih dari 1meter, namun sekarang ini jenis kayu tersebut sudah tidak adalagi di daerah ini (Balunijuk). Pernyataan ini bukan tanpa alasan mengingat di daerah Mendo (Payabenua) konon mengatakan sebagian masyarakat ada yang masih mengenali keberadaan dari jenis kayu ini.  
Lelap atau tempat pemandian tersebut   letaknya di tengah desa tepatnya 100 m arah barat dari simpang Jadabahrin atau  sebelah kiri jalan menuju desa Airduren . Sekarang ini kedua pohon tersebut sudah tidak ada lagi, hancur dimakan usia. Seiirng dengan perkembangan zaman keberadaan munjang/lelap dengan luas 25 m2 merupakan tempat untuk melakukan aktfitas mandi dan mencuci pakaian, sehingga keberadaanya yang berada dipnggir jalan dirasa terlalu terbuka, kemudian pada sekitar tahun 2005 dibangunlah tembok semen mengellingi lelap tersebut. Selain itu juga di bangun sarana MCK yang diperuntukan bagi masyarakat. 
 Makna kata Balunijuk berasal dari kata  (be-Ulin-Ijuk) memiliki filosofi yang tinggi pada tatanan masyakat melayu, dimana kayu Ulin merupakan kayu yang kuat dan kokoh, tak lapuk kar na hujan dan tak lekang karna panas, sedangkan Ijuk bersifat lurus berwarna hitam memiliki filosofi yang lurus dan rahasia/misteri. Awalan Be (bermakna memiliki ), sehingga bila disatukan Balunjuk memiliki arti kuat dan lurus. Kuat dalam hal pendirian gigih, pantang menyerah, tetap tegar dalam prinsip. Lurus memiliki makna selalu perpijak pada jalan yang lurus/benar tidak bertentangan dengan ajaran agama. Ijuk memiliki warna hitam, pada tradisi masyarakat melayu digunakan sebagai penunjuk untuk/dalam belajar dan atau membaca Al-Qur’an. Warna hitam menandakan suatu misteri atau rahasia Allah yang harus dibaca dan dipelajari, serta dipahami/diamalkan oleh manusia.     
 Jadi secara harfiah pada masyarakat Balunijuk  selalu  memiliki jiwa dan sifat yang tegar, berani, dan pantang menyerah, namun tetap memegang sendi-sendi ajaran agama yang kuat. Selain itu jiwa yang tertanam pada masyarakat Balunijuk merupakan jiwa yang mau belajar dan berusaha untuk membuka rahasia Allah melalui pendidikan dan ilmupengetahuan. 
Hal ini dibuktikan  dengan, di-era 80 hingga 90an banyaknya masyakat Balunijuk yang mengirimkan pemuda-pemudinya untuk menempuh pendidikan agama di pesantren-pesantren baik di Sumatra, Jawa, bahkan  Kalimantan. Berdasarkan “Semangat Balunijuk” itulah yang dimiliki oleh para pemimpin dan pemuka adat serta tokoh masyarakat Balunijuk, sekarang ini telah berdiri  sarana pendidikan yang lengkap dari pendidkan usia dini (PAUD), SD, Pesantren, Perguruan Tinggi Universitas Bangka Belitung (UBB) bahkan Sekolah Polisi Negara (SPN) Air Buntet. Telah berdiri di desa Balunijuk. Jadi, tidak-lah berlebihan apabila Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung   menetapkan Balunijuk sebagai daerah Pusat Pendidikan.  
  Konon, masyarakat Balunijuk mulai menetap menjelang tahun 30an (perlu konfirmasi) hal ini ditandai dengan adanya arsitektur rumah panggung yang semua bagiannya terbuat dari kayu yang kini masih tersisa adalah rumah milik H. Pisah (mak Pisah) bangunan rumah Limas yang kental dipengaruh oleh arsitektur khas melayu  masih terlihat berdiri kokoh walaupun sudah tidak dihuni lagi.Merupakan bangunan yang cukup megah pada zamannya.   
Arsitektur rumah tua lainnya dtemui di Balunijuk yaitu rumah kayu Pada bagian bawah (1m) terbuat dari semen, sedangkan bagian rangka hingga diding terbuat dari kayu. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada tahun 60an   Penduduk asli Balunijuk merupakan campuran keturunan dari desa  Kimak dan desa Baturusa  yang secara sengaja membuka lahan untuk tujuan berladang di Balunijuk. Lama kelamaan masyarakat    yang tadinya berladang di Balunijuk hingga akhirnya menetap. Kedatangan orang – orang tersebut bertujuan menggarap tanah untuk pertanian dan berladang. Jadi pada waktu itu pertanian jadi andalan. 




Sampai saat ini (2014) diperkirakan masyarakat Balunijuk telah memasuki era-generasi ke-5. Seperti misalnya keturunan dari H. Satar dari Baturusa yang memiliki 7 orang anak yaitu Saidah, H. Wahid, Rofiah, Bujang Kalok, Juneid, Mawi, dan Suaibah salah satu cucu dari H.Satar ini yaitu  Hj.Halimah. (72) anak dari  Alm. Suaibah. Sedangkan Saidah (85)  dan Rofiah (87) masih sehat tetapi sudah mengalami kesulitan untuk berkomunikasi karna faktor usia.
 Hasil-hasil kebun berupa sayuran dan buah di-era 70an dipasarkan kepasar terdekat waktu itu Pasar Pangkalbalam (sekarang Pasar Rumput Pengkalbalam) dengan menggunakan transportasi jalan kaki atau sepeda. Pada era 80an kejayaan masyarakat Balunijuk mengandalkan hasil bumi berupa lada, nanas dan karet, dimana pada masa itu harga karet memilki nilai perbandingan tiga kalilipat dari harga beras. Melemahnya harga karet dan meningkatnya hama menyebabkan gagal panen lada menjadikan masyarakat balunjuk beralih ke pertanian sayuran. Dengan perkembangan zaman lama-kelamaan pengiriman sayuran menggunakan mobil, penduduk setempat menyebutnya Oto. Pengiriman sayuran seperti sawi, kacangpanjang, terong, cabe, dll. Pernah mengalami masa keemasan di-era 2000an seiring dengan masa kejayaan Penambangan Timah Rakyat (Tambang- Inkovensional) atau TI. Pada masa itu pengiriman sayuran dilakukan keberbagai daerah di Bangka seperti Belinyu, Jebus, Muntok dan  Toboali.
Kuatnya ritual keagamaan yang melekat dimasyarakat Balunijuk  sampai sekarang yang merupakan acara-acara ritual budaya peninggalan nenek moyang sebagai bagian warisan budaya itu adalah warisan dari para alim ulama sebagai sumbernya, tapi juga memang dari tradisi nenek moyang itulah yang sekarang masih dilestarikan. Contohnya adalah Nganggung   yaitu membawa makanan yang terdiri dari nasi, sayur, lauk-pauk, dan buah yang dibawa ke masjid, surau atau mushollah/langgar dengan menggunakan  Dulang atau Bintang untuk dimakan bersama-sama. Nganggung umumnya  merupakan acara tradisi masyarakat Bangka “sepintu sedulang” yang dilakukan saat perayaan hari raya baik acara Idul Fitri maupun acara Idul Ad’ha. Tradisi nganggung diawali dengan membawa makanan  dari masng-masing rumah menuju ke mushollah kemudian setelah terkumpul dilanjutkan dengan acara do’a sesuai dengan perayaannya, setelah pembacaan do’a makanan tersebut disantap bersama-sama. Suasana ikatan kebersamaan dan kekeluargaan tercermin dalam rasa nilai-nilai keagamaan yang kuat. Dengan nikmatnya lempa darat dan lempa kuning perlahan-lahan    sirnanya rasa lapar dan haus, tumbuh rasa senasip sepenangungan dan sepintu sedulang. 
Kentalnya tradisi keagamaan di Balunijuk ditunjukkan dengan adanya kegiatan nganggung yang tidakhanya dilakukan pada saat perayaan hariraya saja, melaikan juga pada peringatan maulid nabi Muhammad SAW, perayaan Satu Muharam, buka Puasa Enam (dilaksanakan pada  dua minggu dari Idul fitri ), dan nujuhari (hari ke-7 wafat). Khusus untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Masyarakat Balunijuk merayakannya dengan  Hari Raya Maulid Nabi Muhammad SAW. Uniknya pada perayaan itu suasana desa macet total dipenuhi oleh berbagai pengunjung yang berdatangan dari berbagai daerah seluruh Bangka perayaan yang unik dan cukup mewah terjadi pada masing-masing rumah dimana tersedia makanan dan minuman yang boleh dinkmati oleh siapa saja yang berkunjung baik dikenali ataupun tidak semua yang datang tetap disuguhi berbagai makanan. 



Keberadaan UBB( Universitas Bangka Belitung) sebagai kampus negeri sudah sepantasnya mendapatkan peranan yang besar dan dapat dirasakan oleh masyarakat Balunijuk  terbukti  salah satunya  dengan diwujudkanya  website desa Balunijuk yang dibuat oleh  dosen dan mahasiswa Jurusan teknik Elektro dan telah resmi diserah terimakan pada kepala desa pada tanggal 21 Januari 2014 , mengenang  100 tahun  Kampung Baru  atau  Kampung Sinar Bukit yang dirintis oleh akik  Mail dan akik Sureh

Sumber :
    


S

Tidak ada komentar:

Posting Komentar