HUKUMAN EDUKATIF
Sekolah
Dasar merupakan tahapan paling penting bagi anak karena di sekolah dasar
inilah mereka mendefinisikan diri sebagai siswa (Carnegie Corporation of
Newyork, 1996). Berdasarkan kemampuan kognitifnya, anak sekolah dasar
memasuki tahap operasional konkret. Anak-anak masih belum berpikir seperti
orang dewasa. Pada tahap ini mereka dapat membentuk konsep, melihat hubungan,
dan memecahkan masalah, tetapi hanya sejauh mereka melibatkan objek dan situasi
yang sudah dikenal. Anak-anak sekolah dasar juga beralih dari pemikiran
egosentris ke pemikiran yang tidak terpusat atau objektif. Pemikiran tidak
terpusat memungkinkan anak-anak melihat bahwa orang lain dapat mempunyai
presepsi yang berbeda dari mereka. Misalnya anak-anak yang mempunyai pemikiran
tidak terpusat akan mampu memahami bahwa anak yang berbeda mungkin saja melihat
pola yang berbeda dalam “awan”. Anak-anak yang proses pemikirannya tidak
terpusat mampu belajar peristiwa-peristiwa yang mungkin saja diatur oleh
hukum-hukum fisika, seperti hukum gravitasi. Selain memasuki tahap operasional
konkret anak-anak sekolah dasar dengan pesat mengembangkan kemampuan daya ingat
dan kognitif, termasuk kemampuan meta-kognitif yaitu kemampuan memikirkan
pemikiran mereka sendiri dan mempelajari bagaimana belajar (Robert E. Slavin ;
2008 ; 106).
Dilihat
dari perkembangan sosioemosional, bahwa seorang anak telah mengembangkan
kepercayaan selama bayi, otonomi selama usia-usia awal, dan inisiatif selama
masa-masa prasekolah, pengalaman anak itu di sekolah dasar dapat mengambil
andil bagi rasa kerajinan dan pencapaiannnya ( Erikson ; 1963). Anak-anak mulai
mencoba membuktikan bahwa mereka “tumbuh dewasa”, hal ini sering digambarkan
sebagai tahap saya – dapat – melakukannya – sendiri. Selain itu, Konsep diri
dan harga diri merupakan bidang perkembangan pribadi dan sosial yang penting
bagi anak sekolah dasar. Konsep diri merupakan persepsi seseorang tentang
kekuatan, kelemahan, kemampuan , sikap, dan nilainya sendiri. Harga diri
merujuk pada nilai yang kita berikan masing-masing pada karakteristik,
kemampuan , dan perilaku kita sendiri. Pada masa sekolah dasar, anak-anak mulai
terfokus pada sifat-sifat yang lebih abstrak dan internal seperti kecerdasan
dan kebaikan hati pada saat menggambarkan diri sendiri. Mereka juga mulai
mengevaluasi diri lewat perbandingan dengan anak-anak lain. Anak-anak yang
lebih muda menggunakan perbandingan sosial terutama untuk belajar tentang
norma-norma sosial dan kelayakan jenis-jenis perilaku tertentu (Ruble ,
Eisenberg , dan Higgins ; 1994). Ketika usia anak semakin bertambah , mereka
juga cenderung menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai
kemampuan mereka sendiri (Borg ; 1998). Sebenarnya Kata kunci
tentang perkembangan pribadi dan sosial ialah penerimaan. Faktanya ialah bahwa
anak-anak benar-benar berbeda-beda dalam kemampuan mereka dan tidak peduli
apapun yang dilakukan guru, siswa akan memikirkan pada masa akhir sekolah dasar
siapa yang lebih mampu dan siapa yang kurang mampu.
Sehingga
perilaku anak sekolah dasar yang cenderung aktif dan nakal tersebut seperti
suka bercerita, mencoba sesuatu yang baru, lebih suka bermain dengan teman
sebaya dari pada belajar, suka beradu gengsi dengan teman-temannya , merasa
“bisa” sendiri dalam segala hal dan moody, membuat orangtua atau guru sering
jengkel kepada ulah mereka tersebut. Orangtua dan gurupun sering memberi
hukuman pada mereka.
Menurut
teori perkembangan behavior B.F. Skinner , hukuman merupakan bagian
dari pengkondisian operan. Pengkondisian operan merupakan penggunaan
konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengendalikan
terjadinya perilaku (Robert E. Slavin ; 2008 ; 183). Konsekuensi ialah kondisi
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi sesudah perilaku dan
memengaruhi frekuensi perilaku pada masa mendatang. Konsekuensi yang
menyenangkan biasa disebut dengan tindakan penguatan. Sedangkan konsekuensi
yang tidak menyenangkan disebut dengan tindakan penghukuman (punisher).
Tindakan penghukuman dalam lingkungan membentuk karakter atau sifat
setiap anak ( John W. Santrock ; 2001 ; 45 ). Apabila konsekuensi
yang kelihatannya tidak menyenangkan tidak mengurangi frekuensi perilaku yang
diikutinya, hal itu tidak selalu merupakan tindakan penghukuman, misalnya beberapa
siswa senang disuruh ke luar kelas atau ke aula, karena hal itu
membebaskan mereka dari ruang kelas, yang mereka lihat sebagai situasi yang
menyenangkan ( Dirscoll, 2000; Kauffman et al , 2002; martella et al , 2003 ).
Menurut Skinner hukuman dapat mempunyai dua bentuk utama , antara lain :
Hukuman
pemberlakuan, ialah rangsangan yang tidak disukai (averse stimuli) yang
mengikuti perilaku tertentu, yang digunakan untuk memperkecil kemungkinan bahwa
perilaku tersebut akan terjadi lagi. Rangsangan yang tidak disukai merupakan
konsekuensi yang tidak menyenangkan yang coba dihindari seseorang.
Seperti ketika seorang siswa diomeli.
Hukuman
pencabutan, ialah penatikan kembali konsekuensi yang menyenangkan yang
memperkuat perilaku tertentu yang dirangcang untuk memperkecil kemungkinan
bahwa perilaku itu akan terulang. Salah satu bentuk hukuman pencabutan yang
sering digunakan di ruang kelas ialah penyingkiran. Penyingkiran adalah
prosedur memindahkan siswa dari suatu situasi dimana perilaku yang tidak pantas
dikuatkan (Nelson & Carr, 2000) , misalnya siswa yang berperilaku tidak
pantas diminta duduk di sudut depan kelas selama pelajaran berlangsung. Guru
sering menggunakan penyingkiran ketika mereka percaya bahwa perhatian
siswa-siswa lain berperan memperkuat perilaku yang tidak pantas , penyingkiran
menghilangkan dari pelakunya tindakan penguatan ini. Penggunaan penyingkiran
sebagai konsekuensi atas perilaku yang tidak pantas pada umumnya telah
ditemukan mengurangi perilaku yang tidak pantas ( Costenbader & Reading-Brown,
1995).
Ahli
teori behavior mendukung penggunaan hukuman seharusnya ditempuh hanya ketika
penguatan untuk perilaku yang tepat telah dicoba dan tidak berhasil. Ketika
hukuman diperlukan, hal itu seharusnya diberikan dalam bentuk yang seringan
mungkin. Hukuman fisik di sekolah (seperti pukulan) bertentangan dengan hukum
dikebanyakan tempat (Evans & Richardson , 1995) dan ditentang secara
universal oleh ahli teori behavior dengan alasan etis dan ilmiah ( Kazdin ,
2001 ; Malott et al ., 2000).
Dalam
konteks pendidikan, tujuan pemberian hukuman dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Adapun tujuan
jangka pendek adalah untuk menghentikan tingkah laku yang
salah, sedangkan tujuan jangka panjang tak lain adalah untuk mengajar dan
mendorong anak agar dapat menghentikan sendiri tingkah lakunya yang salah.
Tujuan dan motif orang tua dan guru memberikan hukuman kepada anak
bermacam-macam. Hal tersebut dikaitkan dengan teori-teori hukuman
yang telah banyak dikemukaan oleh pakar pendidikan (Yanuar A. ; 2012 ; 59).
Tujuan hukuman antara lain :
Berdasarkan
teori pembalasan, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kesalahan
yang telah dilakukan oleh seseorang. Dalam konteks pendidikan , teori ini
biasanya diterapkan karena si anak pernah mengecawakan, misalnya si anak pernah
mengejek atau menjatuhkan harga diri guru di sekolah atau pandangan
masyarakat. Hukuman yang dilandasi dengan tujuan pembalasan adalah hukuman yang
paling jahat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan
teori perbaikan, hukuman diberikan untuk memperbaiki anak yang berbuat salah
dengan harapan agar selanjutnya ia tidak melakukan kesalahan lagi atau sadar
atas kesalahannya. Berdasarkan teori ganti rugi, hukuman diadakan untuk
mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat pelanggaran-pelanggaran
yang telah dilakukan. Contoh seorang guru bisa menghukum siswa yang merusak
mainan temannya dengan mengganti mainan yang telah ia rusakkan. Berdasarkan
teori menakut-nakuti, hukuman diberikan untuk menimbulkan perasaan takut kepada
si pelanggarakan akibat pelanggaran atau kesalahan yang telah dilakukannya
sehingga ia menjadi takut untuk mengulangi perbuatannya dan mau
meninggalkannya.
Setiap
orang tua atau guru memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam memberikan hukuman
pada anak-anak. Caranya pun juga berbeda ada yang memberikan hukuman yang
bersifat negatif maupun positif , yang masing-masing
memberikan dampak tertentu pada perkembangan anak. Hukuman
yang bersifat negatif antara lain :
Menggunakan
kekerasan, seperti pukulan , cubitan, cambukan, dan lainnya. Anak yang
mandapatkan hukuman keras lebih cenderung untuk berbohong dibandingkan anak
yang jarang mendapatkan hukuman keras (Victoria Talwar dan Kang Lee ; 2011). Anak
pun mulai menganggap bahwa sikap kasar yang yang ia peroleh adalah sikap yang
benar dan boleh ditiru. Dan dalam situasi dimana anak-anak sering
dihukum berat, mereka akan belajar untuk menghindari hukuman tersebut dengan
cara apapun. Selain itu hukuman fisik akan membuat IQ anak menjadi rendah , hal
tersebut berdasarkan penelitian Murray Straus dari Univesity of New Hampshire.
Marah
besar, hal tersebut dapat memberikan trauma yang mendalam pada anak-anak dan
akan terbawa sampai mereka dewasa. Dampak tersebut muncul karena Orang tua atau
guru tidak pernah bisa menoleransi barbagai kesalahan yang dibuat oleh anak.
Padahal sangat mugkin, apabila kesalahan-kesalahan tersebut dilakukan karena
kurang perhatiannya orang tua ataupun guru kepada anak atau kurangnya pemahaman
anak tentang sikap dan perilaku baik yang seharusnya ia lakukan (Yanuar A. ;
2012 ; 73).
Berkata
buruk, misalnya perkataan setan kamu, kurang ajar, bodoh, nakal , dan lainnya.
Perkataan-perkataan itu akan melukai perasaan anak, bahkan bisa menghilangkan
kepercayaan diri mereka, semakin membuat mereka jauh dari orang tua maupun
guru, serta tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran maupun nasihat dari orang
tua atau guru. Lebih jauh lagi mereka akan meniru perkataan buruk tersebut dan
melontarkannya kepada teman-teman ataupun saudaranya.
Selain
hal-hal diatas, hukuman negatif meyebabkan anak menjadi kehilangan perasaan
bersalah. Tak jarang, setelah orang tua atau guru memberikan hukuman, seorang
anak merasa bahwa dirinya tidak lagi memiliki perasaan bersalah. Saat anak
tidak memiliki perasaan bersalah, seringkali ia akan mengulangi kesalahannya
lagi karena sudah terbiasa atau setidaknya akan menggampangkan hukuman yang
telah diberikan kepadanya. Maka dari itu, setelah memberikan hukuman pada anak hendaknya
orang tua atau guru benar-benar memastikan bahwa anak sudah memiliki kesadaran
penuh jika tindakannya tersebut salah dan tidak baik untuk dilakukan lagi di
masa depan.
Hukuman
buruk juga akan memancing balasan oleh anak. Sering dijumpai anak setelah
menerima hukuman , memendam rasa benci di hatinya atas hukuman yang diberikan
kepadanya. Sehingga di kemudian hari ia akan berusaha membalas pemberi hukuman.
Rasa benci itu sendiri muncul karena jenis hukuman yang diberikan kepadanya
tidak tepat. Para pakar pendidikan anak pun melarang keras pemberian hukuman
fisik kepada anak. Hukuman fisik haruslah menjadi solusi terakhir saat tidak
memiliki gambaran lain untuk menghukum anak ( Yanuar A. ; 2012 ; 93).
Dalam
memberikan hukuman pada anak , orang tua atau guru dapat melakukanbeberapa
pendekatan untuk membantu mendisiplinkan anak, antara lain :
1. Bersikap
tegas
Dengan
bertindak tegas dalam menyampaikan alasan-alasan yang dilandasi pemikiran
rasional, seorang anak pun pasti akan segan untuk sekadar membantah dan menolak
larangan orang tua atau guru. Dengan sikap tegas ini pula, orang tua atau guru
akan mendapatkan sikap respek dari anak.
2. Tidak
plinplan
Pada
dasarnya, anak akan meniru apa yang orang dewasa lakukan. Begitu pun jika orang
tua atau guru bersikap plinplan terhadap suatu keputusan. Misalnya, seorang ibu
tidak setuju si anak melompat-lompat di tempat tidur, sementara sang ayah
membiarkannya. Hal ini tentu akan membuat anak bingung, akibatnya ia
mengabaikan larangan sang ibu.
3. Kompromi
Anak-anak
tak selalu bisa mengatasi dan membedakan antara persoalan yang besar dan kecil.
Dengan tindakan kompromi yang dilakukan orang tua atau guru menjadi semakin
mudah menghadapi persoalan yang lebih besar nantinya, jika orang tua atau guru
keberatan dengan perilaku anak, mereka harus menyatakan dengan jelas namun
tetap menggunakan bahasa yang halus. Misalnya dengan mengatakan, “kurangilah
suara televisinya, Nak !” dan tidak mengatakan, “ hai, televisinya jangan
keras-keras ! “.
4. Selalu
tenang
Marah
sambil berteriak, membentak atau menceramahi anak tanpa henti merupakan
tindakan kekerasan verbal terhadap anak. Jika orang tua atau guru melakukan
tindakan seperti itu kepada anak yang berbuat salah, maka hal tersebut justru
bisa merusak harga diri anak. Akibatnya anak menjadi tidak memiliki rasa
percaya diri dihadapan orang tua atau guru. Bahkan anak bisa takut manakala
melihat orang tua atau guru, dan bukannya segan.
5. Mengambil
posisi yang tepat
Menunduk
saat berbicara pada anak atau mengambil posisi duduk dihadapannya sehingga
pandangan mata orang tua atau guru sejajar dengan anak. Dengan sikap seperti
itu, orang tua atau guru tidak perlu merasa khawatir akan kehilangan respek
dari anak. Justru sebaliknya, anak akan semakin menghormati dan menghargai
orang tua atau guru.
6. Tidak
melakukan penyuapan
Apabila
membiasakan memberi uang atau hadiah kepada anak, dengan persyaratan ia tidak
melakukan kesalahan atau bmelanggar peraturan yang telah disepakati bersama.
Kebiasaan seperti itu bisa membuat anak tidak tulus dalam melakukan sesuatu.
Anak mau mematuhi peraturan apabila ada imbalannya. Tentu saja, hal ini
bukanlah tindakan yang mendidik melainkan justru mengajarkan praktik penyuapan
pada anak.
7. Menghadapi
rengekan
Merengek
adalah senjata andalan anak ketika ia meminta sesuatu kepada orang dewasa.
Namun orang tua atau guru tidak selalu menuruti rengekannya. Orang tua atau
guru harus mengatakan tudak manja atau merengek kepada anak. Dan menegaskan
pula bahwa orang tua atau guru tidak akan menuruti kemauannya apabila disampaikan
dengan merengek. Hal ini bermanfaat bagi psikologi anak untuk tidak berjiwa
lemah.
8. Memberikan
contoh yang baik
Anak
tidak selalu diajarkan sesuatu melalui komunikasi, karena cukup dengan melihat
saja, anak sudah belajar dan merekamnya di otak. Karena itu, orang
tua atau guru harus memberikan contoh yang baik pada anak, termasuk ketika
memberikan hukuman pada anak. Misalnya ketika orang tua melarang anak untuk
tidak bertengkar dengan temannya, sementara orang tuanya sendiri bertengkar.
Anak akan merekam segala sesuatu yang ia lihat di memori bawah sadarnya. Dan
itu, akan mempengaruhinya kelak ketika telah dewasa.
Dalam
memberikan hukuman pada anak , orang tua atau guru tidak sekadar menentukan
jenis hukuman pada anak. Lebih dari itu, metode atau cara memberikan hukuman
juga perlu diperhatikan sehingga, anak-anak bisa memahami dengan baik makna
hukuman yang diberikan kepada mereka.
Dengan
menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut, pemberian hukuman pun lebih
ditekankan pada sisi edukatif guna membentuk pribadi anak yang selalu
bertanggung jawab atas perbuatannya. Jadi hukuman bukan semata sebagai ajang
pelampiasan amarah orang tua atau guru untuk menyakiti anak ataupun untuk
menunjukkan kedewasaan orang tua atau guru sebagai orang yang lebih dewasa. Adapun jenis-jenis
hukuman edukatif yang oleh pakar pendidikan dinilai sebagai cara
pendidikan yang efektif dan baik (Yanuar A. ; 2012 ; 111), antara lain :
1. Memperlihatkan
wajah masam kepada anak
Bagi
anak, wajah yang masam dari orang tua atau guru sejatinya adalah sebuah hukuman
bagi mereka. Saat anak menyadari perubahan wajah yang tejadi pada orang tuanya
atau gurunya, dengan sendirinya anak akan berusaha mengoreksi diri dari
kesalahan yang tidak orang tuanya atau gurunya sukai itu. Tetapi orang tua atau
guru juga harus memberikan nasihat kepada anaknya.
2. Memberikan
anak tugas bersih-bersih
Sebagai
orang tua atau guru tentu akan marah jika anak tidak mau menjaga kebersihan.
Misalnya mencoret-coret tembok atau meja, menaruh pakaian kotor sembarangan
tempat, membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya. Apabila anak melakukan
hal tersebut, orang tua dapat memberikan tugas bersih-bersih pada anak. Dengan
hukuman semacam itu, secara tidak langsung telah mengajari anak untuk bersikap
tanggung jawab, dimana ia harus menjaga kebersihannya sendiri dan
lingkungannya.
3. Menyuruh
anak untuk meminta maaf kepada orang yang bersangkutan
Meminta
maaf adalah alternatif hukuman yang mendidik. Dengan menyuruh anak untuk
meminta maaf kepada teman yang telah ia salahi, orang tua atau guru sejatinya
tengah mengajari anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
4. Menyuruh
anak untuk belajar
Orang
tua tak hanya menyuruh anak untuk belajar, tetapi seharusnya orang tua
memotivasi dan membantu anak untuk belajar. Diantaranya yaitu terlibat dalam
kegiatan anak, membantu anak merancang strategi untuk memecahkan masalahnya,
membacakan dongeng anak untuk merangsang minat baca anak, merayakan setiap
keberhasilan anak, dan tentunya menemani anak bermain.
5. Menyuruh
anak membantu pekerjaan orang tua atau guru
Membantu
pekerjaan di sini tentu bukan dalam artian mengajak anak untuk bekerja
selayaknya orang tua melakukan pekerjaannya. Namun membantu pekerjaan di sini
maksudnya meminta anak untuk membantu hal-hal yang biasa dikerjakan oleh orang
tua di rumah dan sekiranya anak mampu untuk melakukannya, seperti mencuci motor
atau mobil, membuang sampah, membersihkan kebun atau taman, membantu memasak
dan sebagainya. Dengan menyuruh anak tersebut, orang tua sejatinya tengah
mengajari anak tentang kepatuhan kepada orang tua, tanggungjawab terhadap diri
sendiri dan keluarga, serta pentingnya kerja sama.
Dengan
mengetahui dampak dari setiap hukuman, sejatinya orang tua dapat menentukan
jenis hukuman apa yang cocok untuk anak mereka sesuai dengan usia dan karakteristik
masing-masing anak. Serta pemberian hukuman tersebut sangat menunjang
perkembangan mereka, bukan malah merusak masa depan anak karena
tingkat sekolah dasar merupakan tahap yang paling penting dan dasar dari
setiap presepsi dan kepribadian anak ke depannya.
Sumber :
Santrock,
John W. 2001. Life-Span Development Jilid 1 edisi kelima.
Jakarta : Erlangga.
Slavin,
Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan Jilid 1 Edisi keenam. Jakarta : Erlangga .
Purwanto,
M. Ngalim. 2006. Ilmu pendidikan teoretis dan Praktis. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
A.Yanuar.
2012. Jenis-jenis hukuman edukatif untuk anak SD. Jogjakarta : Diva Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar