Senin, 26 Desember 2016

HUKUMAN EDUKATIF

HUKUMAN EDUKATIF

Sekolah Dasar merupakan tahapan paling penting bagi anak karena di sekolah dasar inilah mereka mendefinisikan diri sebagai siswa (Carnegie Corporation of Newyork, 1996). Berdasarkan kemampuan kognitifnya, anak sekolah dasar memasuki tahap operasional konkret. Anak-anak masih belum berpikir seperti orang dewasa. Pada tahap ini mereka dapat membentuk konsep, melihat hubungan, dan memecahkan masalah, tetapi hanya sejauh mereka melibatkan objek dan situasi yang sudah dikenal. Anak-anak sekolah dasar juga beralih dari pemikiran egosentris ke pemikiran yang tidak terpusat atau objektif. Pemikiran tidak terpusat memungkinkan anak-anak melihat bahwa orang lain dapat mempunyai presepsi yang berbeda dari mereka. Misalnya anak-anak yang mempunyai pemikiran tidak terpusat akan mampu memahami bahwa anak yang berbeda mungkin saja melihat pola yang berbeda dalam “awan”. Anak-anak yang proses pemikirannya tidak terpusat mampu belajar peristiwa-peristiwa yang mungkin saja diatur oleh hukum-hukum fisika, seperti hukum gravitasi. Selain memasuki tahap operasional konkret anak-anak sekolah dasar dengan pesat mengembangkan kemampuan daya ingat dan kognitif, termasuk kemampuan meta-kognitif yaitu kemampuan memikirkan pemikiran mereka sendiri dan mempelajari bagaimana belajar (Robert E. Slavin ; 2008 ; 106).
Dilihat dari perkembangan sosioemosional, bahwa seorang anak telah mengembangkan kepercayaan selama bayi, otonomi selama usia-usia awal, dan inisiatif selama masa-masa prasekolah, pengalaman anak itu di sekolah dasar dapat mengambil andil bagi rasa kerajinan dan pencapaiannnya ( Erikson ; 1963). Anak-anak mulai mencoba membuktikan bahwa mereka “tumbuh dewasa”, hal ini sering digambarkan sebagai tahap saya – dapat – melakukannya – sendiri. Selain itu, Konsep diri dan harga diri merupakan bidang perkembangan pribadi dan sosial yang penting bagi anak sekolah dasar. Konsep diri merupakan persepsi seseorang tentang kekuatan, kelemahan, kemampuan , sikap, dan nilainya sendiri. Harga diri merujuk pada nilai yang kita berikan masing-masing pada karakteristik, kemampuan , dan perilaku kita sendiri. Pada masa sekolah dasar, anak-anak mulai terfokus pada sifat-sifat yang lebih abstrak dan internal seperti kecerdasan dan kebaikan hati pada saat menggambarkan diri sendiri. Mereka juga mulai mengevaluasi diri lewat perbandingan dengan anak-anak lain. Anak-anak yang lebih muda menggunakan perbandingan sosial terutama untuk belajar tentang norma-norma sosial dan kelayakan jenis-jenis perilaku tertentu (Ruble , Eisenberg , dan Higgins ; 1994). Ketika usia anak semakin bertambah , mereka juga cenderung menggunakan perbandingan sosial untuk mengevaluasi dan menilai kemampuan mereka sendiri (Borg ; 1998). Sebenarnya  Kata kunci tentang perkembangan pribadi dan sosial ialah penerimaan. Faktanya ialah bahwa anak-anak benar-benar berbeda-beda dalam kemampuan mereka dan tidak peduli apapun yang dilakukan guru, siswa akan memikirkan pada masa akhir sekolah dasar siapa yang lebih mampu dan siapa yang kurang mampu.   
Sehingga perilaku anak sekolah dasar yang cenderung aktif dan nakal tersebut seperti suka bercerita, mencoba sesuatu yang baru, lebih suka bermain dengan teman sebaya dari pada belajar, suka beradu gengsi dengan teman-temannya , merasa “bisa” sendiri dalam segala hal dan moody, membuat orangtua atau guru sering jengkel kepada ulah mereka tersebut. Orangtua dan gurupun sering memberi hukuman pada mereka.
Menurut teori perkembangan behavior B.F. Skinner , hukuman merupakan bagian dari pengkondisian operan. Pengkondisian operan merupakan penggunaan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk mengendalikan terjadinya perilaku (Robert E. Slavin ; 2008 ; 183). Konsekuensi ialah kondisi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang terjadi sesudah perilaku dan memengaruhi frekuensi perilaku pada masa mendatang. Konsekuensi yang menyenangkan biasa disebut dengan tindakan penguatan. Sedangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan disebut dengan tindakan penghukuman (punisher). Tindakan penghukuman dalam lingkungan membentuk karakter atau sifat setiap  anak ( John W. Santrock ; 2001 ; 45 ). Apabila konsekuensi yang kelihatannya tidak menyenangkan tidak mengurangi frekuensi perilaku yang diikutinya, hal itu tidak selalu merupakan tindakan penghukuman, misalnya beberapa siswa senang disuruh ke luar kelas atau  ke aula, karena hal itu membebaskan mereka dari ruang kelas, yang mereka lihat sebagai situasi yang menyenangkan ( Dirscoll, 2000; Kauffman et al , 2002; martella et al , 2003 ). Menurut Skinner hukuman dapat mempunyai dua bentuk utama , antara lain :
Hukuman pemberlakuan, ialah rangsangan yang tidak disukai (averse stimuli) yang mengikuti perilaku tertentu, yang digunakan untuk memperkecil kemungkinan bahwa perilaku tersebut akan terjadi lagi. Rangsangan yang tidak disukai merupakan konsekuensi yang tidak menyenangkan yang coba dihindari seseorang. Seperti  ketika seorang siswa diomeli.
Hukuman pencabutan, ialah penatikan kembali konsekuensi yang menyenangkan yang memperkuat perilaku tertentu yang dirangcang untuk memperkecil kemungkinan bahwa perilaku itu akan terulang. Salah satu bentuk hukuman pencabutan yang sering digunakan di ruang kelas ialah penyingkiran. Penyingkiran adalah prosedur memindahkan siswa dari suatu situasi dimana perilaku yang tidak pantas dikuatkan (Nelson & Carr, 2000) , misalnya siswa yang berperilaku tidak pantas diminta duduk di sudut depan kelas selama pelajaran berlangsung. Guru sering menggunakan penyingkiran ketika mereka percaya bahwa perhatian siswa-siswa lain berperan memperkuat perilaku yang tidak pantas , penyingkiran menghilangkan dari pelakunya tindakan penguatan ini. Penggunaan penyingkiran sebagai konsekuensi atas perilaku yang tidak pantas pada umumnya telah ditemukan mengurangi perilaku yang tidak pantas ( Costenbader & Reading-Brown, 1995).
Ahli teori behavior mendukung penggunaan hukuman seharusnya ditempuh hanya ketika penguatan untuk perilaku yang tepat telah dicoba dan tidak berhasil. Ketika hukuman diperlukan, hal itu seharusnya diberikan dalam bentuk yang seringan mungkin. Hukuman fisik di sekolah (seperti pukulan) bertentangan dengan hukum dikebanyakan tempat (Evans & Richardson , 1995) dan ditentang secara universal oleh ahli teori behavior dengan alasan etis dan ilmiah ( Kazdin , 2001 ; Malott et al ., 2000).
 Dalam konteks pendidikan, tujuan pemberian hukuman dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Adapun tujuan jangka pendek  adalah untuk menghentikan tingkah laku yang salah, sedangkan tujuan jangka panjang tak lain adalah untuk mengajar dan mendorong anak agar dapat menghentikan sendiri tingkah lakunya yang salah. Tujuan dan motif orang tua dan guru memberikan hukuman kepada anak bermacam-macam. Hal tersebut dikaitkan  dengan teori-teori hukuman yang telah banyak dikemukaan oleh pakar pendidikan (Yanuar A. ; 2012 ; 59). Tujuan hukuman antara lain :
Berdasarkan teori pembalasan, hukuman diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kesalahan yang telah dilakukan oleh seseorang. Dalam konteks pendidikan , teori ini biasanya diterapkan karena si anak pernah mengecawakan, misalnya si anak pernah mengejek atau menjatuhkan  harga diri guru di sekolah atau pandangan masyarakat. Hukuman yang dilandasi dengan tujuan pembalasan adalah hukuman yang paling jahat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan.
Berdasarkan teori perbaikan, hukuman diberikan untuk memperbaiki anak yang berbuat salah dengan harapan agar selanjutnya ia tidak melakukan kesalahan lagi atau sadar atas kesalahannya. Berdasarkan teori ganti rugi, hukuman diadakan untuk mengganti kerugian-kerugian yang telah diderita akibat pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan. Contoh seorang guru bisa menghukum siswa yang merusak mainan temannya dengan mengganti mainan yang telah ia rusakkan. Berdasarkan teori menakut-nakuti, hukuman diberikan untuk menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggarakan akibat pelanggaran atau kesalahan yang telah dilakukannya sehingga ia menjadi takut untuk mengulangi perbuatannya dan mau meninggalkannya.
Setiap orang tua atau guru memiliki tujuan yang berbeda-beda dalam memberikan hukuman pada anak-anak. Caranya pun juga berbeda ada yang memberikan hukuman yang bersifat negatif maupun positif , yang masing-masing memberikan dampak tertentu pada perkembangan anak.  Hukuman yang bersifat negatif antara lain :
Menggunakan kekerasan, seperti pukulan , cubitan, cambukan, dan lainnya. Anak yang mandapatkan hukuman keras lebih cenderung untuk berbohong dibandingkan anak yang jarang mendapatkan hukuman keras (Victoria Talwar dan Kang Lee ; 2011). Anak pun mulai menganggap bahwa sikap kasar yang yang ia peroleh adalah sikap yang benar dan  boleh ditiru. Dan dalam situasi dimana anak-anak sering dihukum berat, mereka akan belajar untuk menghindari hukuman tersebut dengan cara apapun. Selain itu hukuman fisik akan membuat IQ anak menjadi rendah , hal tersebut berdasarkan penelitian Murray Straus dari Univesity of New Hampshire.
Marah besar, hal tersebut dapat memberikan trauma yang mendalam pada anak-anak dan akan terbawa sampai mereka dewasa. Dampak tersebut muncul karena Orang tua atau guru tidak pernah bisa menoleransi barbagai kesalahan yang dibuat oleh anak. Padahal sangat mugkin, apabila kesalahan-kesalahan tersebut dilakukan karena kurang perhatiannya orang tua ataupun guru kepada anak atau kurangnya pemahaman anak tentang sikap dan perilaku baik yang seharusnya ia lakukan (Yanuar A. ; 2012 ; 73).
Berkata buruk, misalnya perkataan setan kamu, kurang ajar, bodoh, nakal , dan lainnya. Perkataan-perkataan itu akan melukai perasaan anak, bahkan bisa menghilangkan kepercayaan diri mereka, semakin membuat mereka jauh dari orang tua maupun guru, serta tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran maupun nasihat dari orang tua atau guru. Lebih jauh lagi mereka akan meniru perkataan buruk tersebut dan melontarkannya kepada teman-teman ataupun saudaranya.
Selain hal-hal diatas, hukuman negatif meyebabkan anak menjadi kehilangan perasaan bersalah. Tak jarang, setelah orang tua atau guru memberikan hukuman, seorang anak merasa bahwa dirinya tidak lagi memiliki perasaan bersalah. Saat anak tidak memiliki perasaan bersalah, seringkali ia akan mengulangi kesalahannya lagi karena sudah terbiasa atau setidaknya akan menggampangkan hukuman yang telah diberikan kepadanya. Maka dari itu, setelah memberikan hukuman pada anak hendaknya orang tua atau guru benar-benar memastikan bahwa anak sudah memiliki kesadaran penuh jika tindakannya tersebut salah dan tidak baik untuk dilakukan lagi di masa depan.
Hukuman buruk juga akan memancing balasan oleh anak. Sering dijumpai anak setelah menerima hukuman , memendam rasa benci di hatinya atas hukuman yang diberikan kepadanya. Sehingga di kemudian hari ia akan berusaha membalas pemberi hukuman. Rasa benci itu sendiri muncul karena jenis hukuman yang diberikan kepadanya tidak tepat. Para pakar pendidikan anak pun melarang keras pemberian hukuman fisik kepada anak. Hukuman fisik haruslah menjadi solusi terakhir saat tidak memiliki gambaran lain untuk menghukum anak ( Yanuar A. ; 2012 ; 93).
Dalam memberikan hukuman pada anak , orang tua atau guru dapat melakukanbeberapa pendekatan untuk membantu mendisiplinkan anak, antara lain :
1.      Bersikap tegas
Dengan bertindak tegas dalam menyampaikan alasan-alasan yang dilandasi pemikiran rasional, seorang anak pun pasti akan segan untuk sekadar membantah dan menolak larangan orang tua atau guru. Dengan sikap tegas ini pula, orang tua atau guru akan mendapatkan sikap respek dari anak.
2.      Tidak plinplan
Pada dasarnya, anak akan meniru apa yang orang dewasa lakukan. Begitu pun jika orang tua atau guru bersikap plinplan terhadap suatu keputusan. Misalnya, seorang ibu tidak setuju si anak melompat-lompat di tempat tidur, sementara sang ayah membiarkannya. Hal ini tentu akan membuat anak bingung, akibatnya ia mengabaikan larangan sang ibu.

3.      Kompromi
Anak-anak tak selalu bisa mengatasi dan membedakan antara persoalan yang besar dan kecil. Dengan tindakan kompromi yang dilakukan orang tua atau guru menjadi semakin mudah menghadapi persoalan yang lebih besar nantinya, jika orang tua atau guru keberatan dengan perilaku anak, mereka harus menyatakan dengan jelas namun tetap menggunakan bahasa yang halus. Misalnya dengan mengatakan, “kurangilah suara televisinya, Nak !” dan tidak mengatakan, “ hai, televisinya jangan keras-keras ! “.
4.      Selalu tenang
Marah sambil berteriak, membentak atau menceramahi anak tanpa henti merupakan tindakan kekerasan verbal terhadap anak. Jika orang tua atau guru melakukan tindakan seperti itu kepada anak yang berbuat salah, maka hal tersebut justru bisa merusak harga diri anak. Akibatnya anak menjadi tidak memiliki rasa percaya diri dihadapan orang tua atau guru. Bahkan anak bisa takut manakala melihat orang tua atau guru, dan bukannya segan.
5.      Mengambil posisi yang tepat
Menunduk saat berbicara pada anak atau mengambil posisi duduk dihadapannya sehingga pandangan mata orang tua atau guru sejajar dengan anak. Dengan sikap seperti itu, orang tua atau guru tidak perlu merasa khawatir akan kehilangan respek dari anak. Justru sebaliknya, anak akan semakin menghormati dan menghargai orang tua atau guru.
6.      Tidak melakukan penyuapan
Apabila membiasakan memberi uang atau hadiah kepada anak, dengan persyaratan ia tidak melakukan kesalahan atau bmelanggar peraturan yang telah disepakati bersama. Kebiasaan seperti itu bisa membuat anak tidak tulus dalam melakukan sesuatu. Anak mau mematuhi peraturan apabila ada imbalannya. Tentu saja, hal ini bukanlah tindakan yang mendidik melainkan justru mengajarkan praktik penyuapan pada anak.
7.      Menghadapi rengekan
Merengek adalah senjata andalan anak ketika ia meminta sesuatu kepada orang dewasa. Namun orang tua atau guru tidak selalu menuruti rengekannya. Orang tua atau guru harus mengatakan tudak manja atau merengek kepada anak. Dan menegaskan pula bahwa orang tua atau guru tidak akan menuruti kemauannya apabila disampaikan dengan merengek. Hal ini bermanfaat bagi psikologi anak untuk tidak berjiwa lemah.
8.      Memberikan contoh yang baik
Anak tidak selalu diajarkan sesuatu melalui komunikasi, karena cukup dengan melihat saja, anak sudah belajar dan  merekamnya di otak. Karena itu, orang tua atau guru harus memberikan contoh yang baik pada anak, termasuk ketika memberikan hukuman pada anak. Misalnya ketika orang tua melarang anak untuk tidak bertengkar dengan temannya, sementara orang tuanya sendiri bertengkar. Anak akan merekam segala sesuatu yang ia lihat di memori bawah sadarnya. Dan itu, akan mempengaruhinya kelak ketika telah dewasa.
Dalam memberikan hukuman pada anak , orang tua atau guru tidak sekadar menentukan jenis hukuman pada anak. Lebih dari itu, metode atau cara memberikan hukuman juga perlu diperhatikan sehingga, anak-anak bisa memahami dengan baik makna hukuman yang diberikan kepada mereka.
Dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tersebut, pemberian hukuman pun lebih ditekankan pada sisi edukatif guna membentuk pribadi anak yang selalu bertanggung jawab atas perbuatannya. Jadi hukuman bukan semata sebagai ajang pelampiasan amarah orang tua atau guru untuk menyakiti anak ataupun untuk menunjukkan kedewasaan orang tua atau guru sebagai orang yang lebih dewasa. Adapun jenis-jenis hukuman edukatif yang oleh pakar pendidikan dinilai sebagai cara pendidikan yang efektif dan baik (Yanuar A. ; 2012 ; 111), antara lain :
1.      Memperlihatkan wajah masam kepada anak
Bagi anak, wajah yang masam dari orang tua atau guru sejatinya adalah sebuah hukuman bagi mereka. Saat anak menyadari perubahan wajah yang tejadi pada orang tuanya atau gurunya, dengan sendirinya anak akan berusaha mengoreksi diri dari kesalahan yang tidak orang tuanya atau gurunya sukai itu. Tetapi orang tua atau guru juga harus memberikan nasihat kepada anaknya.
2.      Memberikan anak tugas bersih-bersih
Sebagai orang tua atau guru tentu akan marah jika anak tidak mau menjaga kebersihan. Misalnya mencoret-coret tembok atau meja, menaruh pakaian kotor sembarangan tempat, membuang sampah sembarangan dan lain sebagainya. Apabila anak melakukan hal tersebut, orang tua dapat memberikan tugas bersih-bersih pada anak. Dengan hukuman semacam itu, secara tidak langsung telah mengajari anak untuk bersikap tanggung jawab, dimana ia harus menjaga kebersihannya sendiri dan lingkungannya.
3.      Menyuruh anak untuk meminta maaf kepada orang yang bersangkutan
Meminta maaf adalah alternatif hukuman yang mendidik. Dengan menyuruh anak untuk meminta maaf kepada teman yang telah ia salahi, orang tua atau guru sejatinya tengah mengajari anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya.
4.      Menyuruh anak untuk belajar
Orang tua tak hanya menyuruh anak untuk belajar, tetapi seharusnya orang tua memotivasi dan membantu anak untuk belajar. Diantaranya yaitu terlibat dalam kegiatan anak, membantu anak merancang strategi untuk memecahkan masalahnya, membacakan dongeng anak untuk merangsang minat baca anak, merayakan setiap keberhasilan anak, dan tentunya menemani anak bermain.
5.      Menyuruh anak membantu pekerjaan orang tua atau guru
Membantu pekerjaan di sini tentu bukan dalam artian mengajak anak untuk bekerja selayaknya orang tua melakukan pekerjaannya. Namun membantu pekerjaan di sini maksudnya meminta anak untuk membantu hal-hal yang biasa dikerjakan oleh orang tua di rumah dan sekiranya anak mampu untuk melakukannya, seperti mencuci motor atau mobil, membuang sampah, membersihkan kebun atau taman, membantu memasak dan sebagainya. Dengan menyuruh anak tersebut, orang tua sejatinya tengah mengajari anak tentang kepatuhan kepada orang tua, tanggungjawab terhadap diri sendiri dan keluarga, serta pentingnya kerja sama.
Dengan mengetahui dampak dari setiap hukuman, sejatinya orang tua dapat menentukan jenis hukuman apa yang cocok untuk anak mereka sesuai dengan usia dan karakteristik masing-masing anak. Serta pemberian hukuman tersebut sangat menunjang perkembangan mereka, bukan malah merusak masa depan anak karena tingkat sekolah dasar merupakan tahap yang paling penting dan dasar dari setiap presepsi dan kepribadian anak ke depannya.

Sumber :

Santrock, John W. 2001. Life-Span Development Jilid 1 edisi kelima. Jakarta : Erlangga.
Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan Jilid 1 Edisi keenam. Jakarta : Erlangga .
Purwanto, M. Ngalim. 2006. Ilmu pendidikan teoretis dan Praktis. Bandung : Remaja Rosdakarya.
A.Yanuar. 2012. Jenis-jenis hukuman edukatif untuk anak SD. Jogjakarta : Diva Press.












                                                                



























    










Tidak ada komentar:

Posting Komentar