ANALISIS PENURUNAN BUDI PEKERTI ANAK TERHADAP GURU
Terima kasih ku, ku ucapkan…
Pada guru ku yang tulus…
Kan ku ingat slalu, nasehat guru ku…
Terima kasih ku ucapkan…
Begitulah
penggalan lirik lagu nasional yang mengungkapkan rasa terima kasih kepada guru
atas segala jasa-jasanya. Sewaktu kecil kita selalu menyanyikannya di hari guru
untuk menghargai seluruh dedikasinya kepada seluruh muridnya. Betapa pentingnya
kehadiran seorang guru dalam kehidupan kita, tanpa seorang guru, kita tidak
dapat membaca, menulis, dan belajar banyak hal. Walaupun saat itu kita kerap
kali dihukum atas kenakalan yang kita perbuat. Namun, semua pendidikan dan
perkembangan moral telah sirna seiring berkembangnya zaman.
Tepat
sebulan yang lalu di bulan Mei 2016, Indonesia dikejutkan oleh kabar yang
sungguh ironi dan sangat mencengangkan. Kabar tersebut datang dari kasus
seorang guru di Sulawesi Selatan tepatnya di SMPN 1 Bantaeng yang mendekam di
penjara akibat mencubit muridnya sendiri. Tiara Indriyani (15) siswi kelas 3
SMP melaporkan Nurmayani Salam (48) yang tidak lain adalah gurunya sendiri ke
pihak yang berwajib. Menurut kabar yang beredar dikalangan netizen, sang guru
dijebloskan ke penjara lantaran mencubit paha kanan dan kiri Tiara di ruang BK
karena Tiara dan salah seorang temannya bernama Virgin bermain air sisa pel dan
tanpa disengaja mengenai sang guru yaitu Nurmayani yang hendak menunaikan
sholat dhuha. Tiara mengadukan kejadian tersebut kepada sang ayah yaitu Ipda Irwan
Efendi yang kemudian melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Karena sang ayah
tidak terima atas perlakuan sang guru terhadap putrinya.
Tidak
tahu apa yang terlintas dipikiran kedua orang tuanya hingga tega menjebloskan
guru yang telah mendidik putrinya tersebut ke dalam jeruji besi. Amarah pun tak
elak menguasai kedua orang tua Tiara, beribu kata maaf yang dilontarkan
keluarga Nurmayani pun sudah tidak mempan lagi. Beliau merasa bahwa masalah ini
sudah tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin.
Kasus
tersebut seakaan sudah menjadi ironi bagi pendidikan di Indonesia. Rusaknya
moral anak bangsa, termasuk rusaknya salah satu fungsi pendidikan bangsa
Indonesia, yang tidak sesuai dengan apa yang sudah tercantum dalam Pasal 3
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, “ Fungsi Pendidikan Nasional untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab”.
Dimana untuk mencapai kriteria murid yang berakhlak,
diperlukan pendisiplinan siswa namun tidak dengan kekerasan, melainkan dengan
menanamkan pendidikan karakter sedini mungkin. Disinilah peran seorang guru
mulai diuji. Seharusnya guru memberikan contoh yang nyata memalui perbuatannya
sehari-hari agar dapat membentuk watak serta perilaku yang berakhlak untuk
muridnya, agar potensi dari murid-murid tersebut bisa berkembang sebagaimana
mestinya. Namun, dalam pendisiplinan yang dilakukan guru terhadap muridnya,
kerap kali guru tersebut menggunakan kekerasan, padahal dengan menggunakan
kekerasan dapat menyebabkan trauma psikologis, seperti menyimpan dendam,
menjadi tidak takut terhadap aturan dan hukuman, mudah terpancing emosi, dan
cederung melampiaskan kemarahannya kepada teman sebayanya yang akhirnya dapat
berujung pada pembullyan.
Seiring
dengan perkembangan zaman, cara didik orang tua mungkin berbeda-beda. Jika dulu
seorang murid ditegur atau diberi hukuman oleh gurunya di sekolah, orang tua
akan berterima kasih kepada sang guru karena sudah mengajarkan bahwa perbuatan
yang siswa itu lakukan adalah salah. Namun, saat ini orang tua lebih memilih
memanjakan anaknya dari pada mendisiplinkan anaknya di sekolah.
Menanggapi
kasus tersebut jika dipandang dari sisi pendidik, tindakan yang dilakukan oleh
ibu Nurmayati merupakan tindakan untuk melatih kedisiplinan siswa yaitu dengan
cara memberikan hukuman. Hal tersebut harusnya dipandang wajar karena untuk
menjadikan siswa yang disiplin dan berakhlak harus membuat efek jera kepada
siswa jika siswa tersebut berbuat salah. Dan itu memang sudah tugas dari
seorang pendidik yaitu menciptakan siswa yang berakhlak. Namun bukan berarti
tindakan yang dilakukan oleh ibu Nurmayati itu sepenuhnya adalah benar,
seharusnya ibu Nurmayati menasehati muridnya tanpa ada kekerasan fisik. Seperti
yang disebutkan dalam peraturan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Nasional tahun 2008 pada pasal 6 tentang Hubungan Guru
dengan Peserta Didik yaitu “Guru Menjalin Hubungan dengan
peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari
tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan”.
Memang
sebagai murid, seharusnya sekolah merupakan tempat yang aman dimana ia merasa
terlindungi dari segala jenis tindak kejahatan seperti kekerasan, seperti yang
dijelaskan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 54 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yaitu “Anak di dalam dan di
lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan
atau lembaga pendidikan lainnya”.
Mengingat
pentingnya hukum dan undang-undang terhadap perlindungan anak, bukan berarti
dengan adanya undang-undang tersebut malah disalah gunakan dan tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya. Contohnya di dalam kasus ini, jika memang yang bersalah
adalah gurunya maka hukuman yang pantas diterima bukan memenjarakannya,
melainkan dengan cara alternatif lain seperti memberikan pembinaan kepada guru
tersebut.
Masih
menanggapi kasus tersebut jika dipandang dari sisi orangtua siswa. Menurut saya
pada saat ini, kebanyakan cara orangtua mendidik anaknya yaitu dengan cara
memanjakannya, yang terkadang apapun permintaan sang anak selalu dituruti baik
maupun buruk. Seperti yang terdapat pada contoh kasus tersebut, sangat
terlihat bahwa ayah Tiara memanfaatkan profesinya sebagai anggota polisi,
melihat anaknya diperlakukan tidak sepantasnya oleh gurunya sendiri, maka sang
ayah langsung melaporkannya tanpa berfikir panjang terlebih dahulu. Memang hal
yang wajar jika sebagai orangtua marah mendapati anaknya mendapat hukuman yang
melibatkan fisik. Namun, perlu digaris bawahi sebagai orangtua harus
berhati-hati dalam mengambil tindakan dan keputusan. Apapun harus dipikirkan
secara jernih dan mencari jalan keluar terbaik dan mengesampingkan emosi, serta
mengukuhkan egonya untuk menyeret kasus seperti ini ke ranah hukum. Jika memang
masih bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan kenapa tidak.
Karena
apa yang dilakukan orangtua tersebut malah mengundang berbagai dampak negatif.
Bagi guru, kasus tersebut dapat menghancurkan martabatnya sebagai seorang
pendidik, padahal guru juga memiliki hak seperti yang tercantum dalam PP No. 74
tahun 2008 pasal 40 ayat 1 yang menyebutkan “Guru berhak mendapat
perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan
keselamatan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, satuan Pendidikan, Organisasi
profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing”.
Sementara
itu, bukan hanya pihak guru saja yang dirugikan melainkan murid yang terlibat
juga ikut dirugikan. Hal-hal seperti ini dapat mengganggu hak anak untuk
mendapatkan bimbingan di sekolah, dan yang paling berpengaruh yaitu memberikan
kepada anak dampak yang negatif dari segi psikologinya karena masih dibawah
umur sudah harus berhadapan dengan hukum. Tidak hanya itu, siswa yang
bersangkutan juga akan dirugikan dari segi sosialnya. Karena siswa yang
bersangkutan bisa saja dijauhi oleh teman-temannya karena teman-temannya merasa
takut jika mereka berbuat salah akan dikenakan hal serupa.
Sebenarnya
boleh-boleh saja menghukum seorang murid, namun perlu diperhatikan hukuman apa
yang pantas didapatkan oleh sang murid. Lebih baik jika hukuman tersebut yang
bersifat edukatif atau mendidik siswanya agar potensi siswa berkembang dan
membentuk peradaban yang baik. Kasus seperti ini tidak seharusnya terjadi
apabila ada jalinan yang baik antara pihak guru dan pihak orangtua. Hal ini
juga perlu adanya dukungan dan peran orangtua dalam membentuk karakter yang
baik pada diri anaknya untuk menciptakan penerus bangsa yang baik.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar