Senin, 26 Desember 2016

ANALISIS PENURUNAN BUDI PEKERTI ANAK TERHADAP GURU

ANALISIS PENURUNAN BUDI PEKERTI ANAK TERHADAP GURU

            Terima kasih ku, ku ucapkan…
            Pada guru ku yang tulus…
            Kan ku ingat slalu, nasehat guru ku…
            Terima kasih ku ucapkan…

Begitulah penggalan lirik lagu nasional yang mengungkapkan rasa terima kasih kepada guru atas segala jasa-jasanya. Sewaktu kecil kita selalu menyanyikannya di hari guru untuk menghargai seluruh dedikasinya kepada seluruh muridnya. Betapa pentingnya kehadiran seorang guru dalam kehidupan kita, tanpa seorang guru, kita tidak dapat membaca, menulis, dan belajar banyak hal. Walaupun saat itu kita kerap kali dihukum atas kenakalan yang kita perbuat. Namun, semua pendidikan dan perkembangan moral telah sirna seiring berkembangnya zaman.
Tepat sebulan yang lalu di bulan Mei 2016, Indonesia dikejutkan oleh kabar yang sungguh ironi dan sangat mencengangkan. Kabar tersebut datang dari kasus seorang guru di Sulawesi Selatan tepatnya di SMPN 1 Bantaeng yang mendekam di penjara akibat mencubit muridnya sendiri. Tiara Indriyani (15) siswi kelas 3 SMP melaporkan Nurmayani Salam (48) yang tidak lain adalah gurunya sendiri ke pihak yang berwajib. Menurut kabar yang beredar dikalangan netizen, sang guru dijebloskan ke penjara lantaran mencubit paha kanan dan kiri Tiara di ruang BK karena Tiara dan salah seorang temannya bernama Virgin bermain air sisa pel dan tanpa disengaja mengenai sang guru yaitu Nurmayani yang hendak menunaikan sholat dhuha. Tiara mengadukan kejadian tersebut kepada sang ayah yaitu Ipda Irwan Efendi yang kemudian melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Karena sang ayah tidak terima atas perlakuan sang guru terhadap putrinya.
Tidak tahu apa yang terlintas dipikiran kedua orang tuanya hingga tega menjebloskan guru yang telah mendidik putrinya tersebut ke dalam jeruji besi. Amarah pun tak elak menguasai kedua orang tua Tiara, beribu kata maaf yang dilontarkan keluarga Nurmayani pun sudah tidak mempan lagi. Beliau merasa bahwa masalah ini sudah tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin.
Kasus tersebut seakaan sudah menjadi ironi bagi pendidikan di Indonesia. Rusaknya moral anak bangsa, termasuk rusaknya salah satu fungsi pendidikan bangsa Indonesia, yang tidak sesuai dengan apa yang sudah tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “ Fungsi Pendidikan Nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”
Dimana untuk mencapai kriteria murid yang berakhlak, diperlukan pendisiplinan siswa namun tidak dengan kekerasan, melainkan dengan menanamkan pendidikan karakter sedini mungkin. Disinilah peran seorang guru mulai diuji. Seharusnya guru memberikan contoh yang nyata memalui perbuatannya sehari-hari agar dapat membentuk watak serta perilaku yang berakhlak untuk muridnya, agar potensi dari murid-murid tersebut bisa berkembang sebagaimana mestinya. Namun, dalam pendisiplinan yang dilakukan guru terhadap muridnya, kerap kali guru tersebut menggunakan kekerasan, padahal dengan menggunakan kekerasan dapat menyebabkan trauma psikologis, seperti menyimpan dendam, menjadi tidak takut terhadap aturan dan hukuman, mudah terpancing emosi, dan cederung melampiaskan kemarahannya kepada teman sebayanya yang akhirnya dapat berujung pada pembullyan.
Seiring dengan perkembangan zaman, cara didik orang tua mungkin berbeda-beda. Jika dulu seorang murid ditegur atau diberi hukuman oleh gurunya di sekolah, orang tua akan berterima kasih kepada sang guru karena sudah mengajarkan bahwa perbuatan yang siswa itu lakukan adalah salah. Namun, saat ini orang tua lebih memilih memanjakan anaknya dari pada mendisiplinkan anaknya di sekolah.
Menanggapi kasus tersebut jika dipandang dari sisi pendidik, tindakan yang dilakukan oleh ibu Nurmayati merupakan tindakan untuk melatih kedisiplinan siswa yaitu dengan cara memberikan hukuman. Hal tersebut harusnya dipandang wajar karena untuk menjadikan siswa yang disiplin dan berakhlak harus membuat efek jera kepada siswa jika siswa tersebut berbuat salah. Dan itu memang sudah tugas dari seorang pendidik yaitu menciptakan siswa yang berakhlak. Namun bukan berarti tindakan yang dilakukan oleh ibu Nurmayati itu sepenuhnya adalah benar, seharusnya ibu Nurmayati menasehati muridnya tanpa ada kekerasan fisik. Seperti yang disebutkan dalam peraturan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Nasional tahun 2008 pada pasal 6 tentang Hubungan Guru dengan Peserta Didik yaitu “Guru Menjalin Hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan”.
Memang sebagai murid, seharusnya sekolah merupakan tempat yang aman dimana ia merasa terlindungi dari segala jenis tindak kejahatan seperti kekerasan, seperti yang dijelaskan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 54 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah, atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya”.
Mengingat pentingnya hukum dan undang-undang terhadap perlindungan anak, bukan berarti dengan adanya undang-undang tersebut malah disalah gunakan dan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Contohnya di dalam kasus ini, jika memang yang bersalah adalah gurunya maka hukuman yang pantas diterima bukan memenjarakannya, melainkan dengan cara alternatif lain seperti memberikan pembinaan kepada guru tersebut.
Masih menanggapi kasus tersebut jika dipandang dari sisi orangtua siswa. Menurut saya pada saat ini, kebanyakan cara orangtua mendidik anaknya yaitu dengan cara memanjakannya, yang terkadang apapun permintaan sang anak selalu dituruti baik maupun buruk. Seperti yang terdapat pada contoh  kasus tersebut, sangat terlihat bahwa ayah Tiara memanfaatkan profesinya sebagai anggota polisi, melihat anaknya diperlakukan tidak sepantasnya oleh gurunya sendiri, maka sang ayah langsung melaporkannya tanpa berfikir panjang terlebih dahulu. Memang hal yang wajar jika sebagai orangtua marah mendapati anaknya mendapat hukuman yang melibatkan fisik. Namun, perlu digaris bawahi sebagai orangtua harus berhati-hati dalam mengambil tindakan dan keputusan. Apapun harus dipikirkan secara jernih dan mencari jalan keluar terbaik dan mengesampingkan emosi, serta mengukuhkan egonya untuk menyeret kasus seperti ini ke ranah hukum. Jika memang masih bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan kenapa tidak.
Karena apa yang dilakukan orangtua tersebut malah mengundang berbagai dampak negatif. Bagi guru, kasus tersebut dapat menghancurkan martabatnya sebagai seorang pendidik, padahal guru juga memiliki hak seperti yang tercantum dalam PP No. 74 tahun 2008 pasal 40 ayat 1 yang menyebutkan “Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, satuan Pendidikan, Organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing”.
Sementara itu, bukan hanya pihak guru saja yang dirugikan melainkan murid yang terlibat juga ikut dirugikan. Hal-hal seperti ini dapat mengganggu hak anak untuk mendapatkan bimbingan di sekolah, dan yang paling berpengaruh yaitu memberikan kepada anak dampak yang negatif dari segi psikologinya karena masih dibawah umur sudah harus berhadapan dengan hukum. Tidak hanya itu, siswa yang bersangkutan juga akan dirugikan dari segi sosialnya. Karena siswa yang bersangkutan bisa saja dijauhi oleh teman-temannya karena teman-temannya merasa takut jika mereka berbuat salah akan dikenakan hal serupa.
Sebenarnya boleh-boleh saja menghukum seorang murid, namun perlu diperhatikan hukuman apa yang pantas didapatkan oleh sang murid. Lebih baik jika hukuman tersebut yang bersifat edukatif atau mendidik siswanya agar potensi siswa berkembang dan membentuk peradaban yang baik. Kasus seperti ini tidak seharusnya terjadi apabila ada jalinan yang baik antara pihak guru dan pihak orangtua. Hal ini juga perlu adanya dukungan dan peran orangtua dalam membentuk karakter yang baik pada diri anaknya untuk menciptakan penerus bangsa yang baik.

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar