Senin, 26 Desember 2016

KEINDAHAN TOLERANSI ETNIS MELAYU DAN CIN (TIONGHOA) DI BANGKA BELITUNG

KEINDAHAN TOLERANSI ETNIS MELAYU DAN CIN (TIONGHOA) DI BANGKA BELITUNG


Bangka Belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil seperti P. Lepar, P. Pongok, P. Mendanau dan P. Selat Nasik, total pulau yang telah bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung terletak di bagian timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memiliki pantai yang indah dan kerukunan antar etnis. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkalpinang. Pemerintahan provinsi ini disahkan pada tanggal 9 Februari 2001Selat Bangka memisahkan Pulau Sumatera dan Pulau Bangka, sedangkan Selat Gaspar memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Di bagian utara provinsi ini terdapat Laut Cina Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau Kalimantan di bagian timur yang dipisahkan dari Pulau Belitung oleh Selat Karimata. Bangka Belitung merupakan provinsi yang di dalamnya terdapat berbagai macam etnis atau suku yang sudah ada sejak lama, tionghoa( cina) , melayu dan suku pedalaman yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatan (Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 40 tahun 2008).
Etnis berbeda dengan pengertian ras. Seperti yang diungkap oleh Coakley (2001:243) “...it refers to the cultural heritage of particular group of people”.
Jadi, etnis mengacu pada warisan budaya dari kelompok orang tertentu. Maguire, et al (2002: 140) menjelaskan juga bahwa “the term ethnic become a precise word to use regarding people of varying origins”. Jadi, istilah etnis menjadi sebuah kata yang tepat untuk memandang orang dari berbagai asal-usul. Lebih lanjut diungkapkan pula bahwa etnis mungkin dipertimbangkan dalam istilah kelompok apapun yang didefinisikan atau disusun oleh asal-usul budaya, agama, nasional atau beberapa kombinasi dari kategori-kategori tersebut (Maguire, et al, 2002:134). Berbicara tentang etnis yang ada di Bangka khususnya tionghoa dan melayu banyak sekali keunikan yang menarik untuk dibahas dari keduanya. Orang Bangka biasa menyebutkan orang-orang etnis tionghoa dengan sebutan ‘urang cin’. Sebutan ini berasal dari etnis  tionghoa yang dianggap sebagai orang keturunan dari negeri cina, maka dari itu disebutkan secara singkat orang yang keturunan cina itu sebagai ‘ urang cin’ . Sedangkan sebutan untuk oranng- orang muslim yang ada di Bangka Belitung adalah ‘urang melayu’.
Kehidupan ‘urang cin’ dan ‘urang melayu’ di Bangka memang terkenal sangat rukun, hal ini terjadi karena kedua etnis tersebut merasa mereka adalah keluarga tanpa ikatan darah. Urang cin dan urang melayu merasa dalam proses kehidupan mereka saling membutuhkan satu sama lain. Hidup dengan lingkungan yang membaur dengan kepercayaan yang berbeda sudah dirasakan oleh masyarakat Bangka Belitung. Semua masyarakat Bangka Belitung sangat menjunjung tolerasi beragama, dengan kondisi banyaknya jenis agama yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat; ada Islam, Kristen, Budha, Konghuchu, bahkan Hindu. Toleransi beragama yang merupakan rasa saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, dan tidak memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama masing-masing sesungguhnya memang sudah ditanamkan oleh leluhur masyarakat Bangka Belitung, sesuai dengan sejarahnya yang mengajarkan bahwa tolerasi merupakan cara untuk menjaga keutuhan dan kerukunan bangsa.
Sejarah yang menggambarkan toleransi ‘urang melayu’ dengan ‘urang cin’ di Bangka Belitung merupakan sejarah yang mengajarkan masyarakat disana untuk bertoleransi kepada suku/ etnis, agama, ras dan golongan manapun yang hidup dimasyarakat. Proses pembauran antar ‘urang cin’ dan ‘urang melayu’ di Bangka Belitung berjalan begitu baik tanpa konflik / gejolak sosial, akulturasi dan asimilasi berproses seiring zaman dn budaya setempat dengan sangat menarik.  Peraturan Menteri  Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pedoman penyelenggaraan pembauran kebangsaan di daerah tidaklah menjadi kendala dalam penerapan aturan ini di Bangka Belitung karena telah berpuluh tahun masyarakat dua etnis berinteraksi apakah melalui  sosial budaya maupun ekonomi. penyatuan dua kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah membentuk suatu identitas baru, proses penyesuaian tersebut di antaranya menyangkut  unsur-unsur kebudayaan yang berbeda sehingga mencapai keserasian fungsi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sehari – hari etnis tionghoa dan melayu mencari nafkah dalam aktifitas yang sama tidak ada perbedaan sama sekali, dari kuli / buruh, supir, pedagang, tani,nelayan, pegawai, TNI,Polri dan sebagainya. Tentunya akan berbeda nuasa dengan daerah lain yang masih terjadi ketidak harmonisan yang kentara dalam kehidupan sehari – hari, melayu belajar bahasa / budaya tionghoa begitu juga melayu jadi dilihat dari gaya kadangkala sulit membedakan apalagi kawin silang yang memberikan keturunan baru dibilang tionghoa/ urang cin dia melayu/ urang melayu dibilang melayu dia tionghoa karena wajah / warna kulit sama. ‘Urang cin’ di Bangka didatangkan pada awal abad ke-18 ketika pertambangan resmi dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikahi penduduk bumi putera, baik Bangka, Jawa maupun Bali. Maka, menurut Myra, ‘urang cin’  di Bangka adalah “masyarakat peranakan sebenarnya, yaitu darah campuran Tionghoa dan pribumi.” Jumlah ‘urang cin’ muslim cukup besar, bahkan ada kuburan khusus untuk mereka di dekat kota Mentok ( Bangka Barat). Sedangkan Tionghoa di Belitung datang pada pertengahan abad ke-19 beserta istri-istri mereka. Mereka menjadi “peranakan berdasarkan orientasi hidup.” Contohnya, ada perempuan yang menggantikan pakaian Tionghoanya dengan pakaian bumiputera. Mereka mengganti baju kurung dengan kebaya, celana dengan sarung. “Di zaman dahulu wanita mengunyah sirih.
Perbedaan terbesar dalam bahasa. Di Bangka, peranakan Tionghoa berbahasa Melayu-Bangka yang khas bercampur kata-kata dialek Hakka. Di Belitung, peranakan Tionghoa berbahasa Hakka murni yang dibagi dalam “bahasa ibu” dan “bahasa ayah.” Kaum perempuan berbahasa ibu dengan nada khas dan bercampur bahasa Melayu. Lelaki berbahasa ayah atau Hakka murni; jika berbicara dengan bahasa ibu dianggap aneh. Dewasa ini bahasa Hakka terancam punah. Anak-anak kecil di Belitung bisa bahasa Hakka namun ketika pindah ke Jakarta jarang mau menggunakannya karena malu atau pergaulan.
Yang uniknya lagi, tidak ada kota di Indonesia yang penulisan nama jalannya menggunakan tiga bahasa selain Sungailiat, ibu kota Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di sana, setiap papan nama jalan ditulis menggunakan bahasa Indonesia, yang letaknya paling atas, lalu bahasa Arab dan bahasa Mandarin. ”Harmonisasi antarwarga Melayu dan Tionghoa di Bangka begitu kental dan mesra. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak nenek moyang kami sehingga kami wajib merawatnya harus diakui, antara Bangka dan masyarakat Tionghoa sudah seperti dua sisi mata uang. Di pulau ini, kelompok masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan tanah setempat selama ratusan tahun. Budayawan Bangka, Akhmad Elvian, menjelaskan, masyarakat Tionghoa mulai hadir di Pulau Bangka selama periode 1757-1776 atas kehendak Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, putra Sultan Mahmud Badaruddin II, yang saat itu memimpin Kerajaan Sriwijaya. Tujuan utama mendatangkan mereka adalah untuk meningkatkan produksi dan kualitas pengolahan timah sebab warga Tionghoa dinilai lebih terampil dan sudah menguasai teknologi penambangan timah.
Gelombang berikutnya didatangkan lagi para petani, tukang jahit, dan tukang kayu. Kehadiran beragam profesi itu dimaksudkan agar terjalin hubungan yang lebih luas antara warga asal China dan masyarakat setempat. Para warga asal China yang datang ke Bangka saat itu umumnya laki-laki dan tidak membawa keluarga. Seiring dengan perjalanan waktu, mereka pun akhirnya memilih bertahan di Bangka dengan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan Melayu di sana. ”Jadi, masyarakat Tionghoa di Bangka saat ini merupakan keturunan pribumi dan Melayu. Hubungan persaudaraan dan keharmonisan erat yang terjalin antara masyarakat Tionghoa dan Melayu di Bangka selama ini karena mereka umumnya memiliki garis keturunan yang sama,” ujar Akhmad. Dengan adanya asimilasi yang kuat melalui perkawinan itu akhirnya berkembang penyebutan di kalangan masyarakat Bangka, yakni fan ngin, to ngin jit jong, yang berarti ’pribumi, Melayu, dan Tionghoa semuanya sama dan setara’. ”Karena itu, hubungan kekeluargaan antarwarga Melayu, Tionghoa, dan pribumi di Bangka tidak lahir secara kebetulan demi menjaga stabilitas wilayah, tetapi karena merasa sebagai satu keluarga besar,”
Saat ini, populasi warga Tionghoa di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 30 persen dari total 1,2 juta jiwa penduduk wilayah itu. Mereka menekuni berbagai profesi, seperti pengusaha, petani, nelayan, tukang jahit, serta penjual sayur, ikan, dan buah-buahan. Ada juga guru dan karyawan. Tempat tinggal mereka pun tidak selalu terkonsentrasi di lokasi tertentu, tetapi cenderung membaur dengan masyarakat dari etnis dan agama lain. Itu sebabnya, pembauran berlangsung alami. ”Sejak kecil, saya sudah bergaul dan bermain bersama anak-anak warga Tionghoa. Kami bersahabat kental sehingga saya dan beberapa teman yang Melayu bisa berbicara bahasa Mandarin dengan lancar. Orangtua kami pun selalu berpesan bahwa kami dengan orang Tionghoa adalah saudara dekat,” kata Sudirman (35), warga Melayu di Pasir Putih, Kecamatan Nangkoi, Kota Pangkal Pinang. Jika ada warga Tionghoa menggelar hajatan atau dalam kedukaan, tetangganya warga Melayu atau etnis lain selalu dilibatkan. Begitu pula sebaliknya, jika etnis lain melakukan kegiatan serupa, warga Tionghoa pun bahu-membahu untuk memasak, mengurusi tamu, dan lain-lain. Toleransi juga di tunjukkan oleh ‘urang melayu’ yang terbilang sebagai mayoritas dengan selalu memberikan kebebasan kepada ’urang cin’ untuk menggelar acara-acara besar seperti ‘sembayang rebut’ (salah satu upacara penghormatan leluhur) dan lainnya tanpa ada kesulitan apapun.
Toleransi yang lain juga tergambar dari makanan. Yah makanan, masyarakat Bangka Belitung baik ‘urang melayu’ maupun ‘urang cin’ banyak sekali yang membuka warung makan disisi jalan sampai pantai. ‘Urang cin’ di Bangka memiliki kebebasan untuk menjual makanan yang halal bagi etnis mereka dan tidak hala bagi umat muslim,misalnya menjual lauk pauk yang berbahan babi. Sikap toleransi di tunjukkan oleh ‘urang cin’ jika ada seorang muslim yang mampir ke warung dengan penjuangnya ‘urang cin’ , dengan sigap ‘urang cin, akan memberi tau bahwa ada masakan –masakan tertentu yang bebbahan dasar babi yang haram bagi ‘urang melayu’ sebagai muslim, dan akan mempersilahkan untuk memilih masakan yang terbuat dari bahan-bahan yang halal bagi muslim. Kebersamaan antar etni ini memnag sudah sampai ke titik saling ketergantungan, ‘ urang cin’  merasa sulit mendapatkan makanan pasar seperti ikan, sayuran dan lainnya saat ‘urang melayu’ libur dalam rangka perayaan hari-hari besar keagamaan seperti idul fitri dan idul adha, karena penjual di pasar di dominasi oleh masyarakat melayu. Begitu pula dengan ‘urang melayu’ , mereka akan merasa kesulitanuntuk berbelanja di toko- toko yang menjual sembako, baju, obat-obatan dan perlengkapan lainnya pada saat ‘kongian’ atau hari raya tionghoa, karena pemilik toko yang menjual barang –barang tersebut adalah ‘ urang cin’. Di sinilah terlihat contoh kecil betapa erat hubungan kedua etnis ini dalam berbagai hal.
Eratnya kebersamaan ini membuat hampir tidak ada konflik sosial yang melibatkan etnis di Bangka. Apalagi, pekerjaan yang ditekuni dan jenis rumah yang ditempati pun hampir sama sehingga nyaris terbebas dari kecemburuan sosial. Hubungan erta juga terjalin dengan adanya putra-putri tionghoa yang menikah dengan putra-putri melayu yang menyebabkan terjalinan hubungan persaudaraan darah yang membuat hubungan kedua etnis ini semakin erat. Uskup Pangkal Pinang Mgr Hilarius Moa Nurak SVD mengakui, bahwa persaudaraan yang terbina melalui perkawinan telah membuat hubungan antara warga Tionghoa, Melayu, dan Islam di Bangka Belitung nyaris tanpa sekat. Beberapa tahun lalu pernah ada pihak yang melakukan provokasi guna membenturkan warga Tionghoa dengan Melayu dan Islam di wilayah itu, tetapi tidak berhasil. ”Harmonisasi seperti ini harus terus terbina dan terpelihara. Namun, para pembuat kebijakan pun perlu mengayomi semua pihak agar kebersamaan yang telah terjalin di tengah masyarakat tidak dihancurkan oleh kepentingan politik sesaat.
Maka dari itu, masyarakat Bangka Belitung dengan segala berbedaannya bertujuan agar tetap bersatu untuk sesuatu yang lebih baik lagi. Menjunjung tinggi toleransi demi terciptanya kerukunan antar sesama.

Sumber : 
https://chunghwahweekoan.wordpress.com/sejarah/353-2/sejarah-suku-tionghoa-di-bangka-belitung/
https://id.scribd.com/doc/45305128/Pembauran-Etnis-China-di-  Indonesia
http://historia.id/budaya/peranakan-tionghoa-di-bangkabelitung
http://www.tionghoa.info/orang-tionghoa-dalam-sejarah-pertambangan-indonesia
http://bandiklat.babelprov.go.id/2016/05/02/keunikan-pembauran-etnik-tionghoa-dan-melayu-di-bangka-belitung-tumbuhkan-nasionalisme/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar