Bangka
Belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia yang
terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau
Belitung serta pulau-pulau kecil seperti P.
Lepar, P. Pongok, P. Mendanau dan P. Selat Nasik, total pulau yang telah
bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung
terletak di bagian timur Pulau Sumatera,
dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan.
Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memiliki pantai yang
indah dan kerukunan antar etnis. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkalpinang.
Pemerintahan provinsi ini disahkan pada tanggal 9
Februari 2001. Selat
Bangka memisahkan Pulau Sumatera dan
Pulau Bangka, sedangkan Selat Gaspar memisahkan
Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Di bagian utara provinsi ini terdapat Laut Cina Selatan,
bagian selatan adalah Laut Jawa dan
Pulau Kalimantan di
bagian timur yang dipisahkan dari Pulau Belitung oleh Selat
Karimata. Bangka Belitung merupakan provinsi
yang di dalamnya terdapat berbagai macam etnis atau suku yang sudah ada sejak
lama, tionghoa( cina) , melayu dan suku pedalaman yang sudah ada sejak ratusan
tahun yang lalu. Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan,
nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis dan hubungan
kekerabatan (Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 40 tahun 2008).
Etnis berbeda dengan pengertian ras. Seperti yang diungkap oleh Coakley (2001:243) “...it refers to the cultural heritage of particular group of people”.
Etnis berbeda dengan pengertian ras. Seperti yang diungkap oleh Coakley (2001:243) “...it refers to the cultural heritage of particular group of people”.
Jadi,
etnis mengacu pada warisan budaya dari kelompok orang tertentu. Maguire, et al
(2002: 140) menjelaskan juga bahwa “the term ethnic become a precise word to
use regarding people of varying origins”. Jadi, istilah etnis menjadi sebuah
kata yang tepat untuk memandang orang dari berbagai asal-usul. Lebih lanjut
diungkapkan pula bahwa etnis mungkin dipertimbangkan dalam istilah kelompok
apapun yang didefinisikan atau disusun oleh asal-usul budaya, agama, nasional
atau beberapa kombinasi dari kategori-kategori tersebut (Maguire, et al,
2002:134). Berbicara tentang etnis yang ada di Bangka khususnya tionghoa dan
melayu banyak sekali keunikan yang menarik untuk dibahas dari keduanya. Orang
Bangka biasa menyebutkan orang-orang etnis tionghoa dengan sebutan ‘urang cin’.
Sebutan ini berasal dari etnis tionghoa
yang dianggap sebagai orang keturunan dari negeri cina, maka dari itu disebutkan
secara singkat orang yang keturunan cina itu sebagai ‘ urang cin’ . Sedangkan
sebutan untuk oranng- orang muslim yang ada di Bangka Belitung adalah ‘urang
melayu’.
Kehidupan
‘urang cin’ dan ‘urang melayu’ di Bangka memang terkenal sangat rukun, hal ini
terjadi karena kedua etnis tersebut merasa mereka adalah keluarga tanpa ikatan
darah. Urang cin dan urang melayu merasa dalam proses kehidupan mereka saling
membutuhkan satu sama lain. Hidup dengan lingkungan yang membaur dengan
kepercayaan yang berbeda sudah dirasakan oleh masyarakat Bangka Belitung. Semua
masyarakat Bangka Belitung sangat menjunjung tolerasi beragama, dengan kondisi
banyaknya jenis agama yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat; ada Islam,
Kristen, Budha, Konghuchu, bahkan Hindu. Toleransi beragama yang merupakan rasa
saling menghormati dan berlapang dada terhadap pemeluk agama lain, dan tidak
memaksa mereka mengikuti agamanya dan tidak mencampuri urusan agama
masing-masing sesungguhnya memang sudah ditanamkan oleh leluhur masyarakat
Bangka Belitung, sesuai dengan sejarahnya yang mengajarkan bahwa tolerasi
merupakan cara untuk menjaga keutuhan dan kerukunan bangsa.
Sejarah
yang menggambarkan toleransi ‘urang melayu’ dengan ‘urang cin’ di Bangka
Belitung merupakan sejarah yang mengajarkan masyarakat disana untuk bertoleransi
kepada suku/ etnis, agama, ras dan golongan manapun yang hidup dimasyarakat. Proses
pembauran antar ‘urang cin’ dan ‘urang melayu’ di Bangka Belitung berjalan
begitu baik tanpa konflik / gejolak sosial, akulturasi dan asimilasi berproses
seiring zaman dn budaya setempat dengan sangat menarik. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pedoman penyelenggaraan
pembauran kebangsaan di daerah tidaklah menjadi kendala dalam penerapan aturan
ini di Bangka Belitung karena telah berpuluh tahun masyarakat dua etnis
berinteraksi apakah melalui sosial budaya maupun ekonomi. penyatuan dua
kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah membentuk suatu identitas
baru, proses penyesuaian tersebut di antaranya menyangkut unsur-unsur kebudayaan
yang berbeda sehingga mencapai keserasian fungsi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam
kehidupan sehari – hari etnis tionghoa dan melayu mencari nafkah dalam
aktifitas yang sama tidak ada perbedaan sama sekali, dari kuli / buruh, supir,
pedagang, tani,nelayan, pegawai, TNI,Polri dan sebagainya. Tentunya akan
berbeda nuasa dengan daerah lain yang masih terjadi ketidak harmonisan yang
kentara dalam kehidupan sehari – hari, melayu belajar bahasa / budaya tionghoa
begitu juga melayu jadi dilihat dari gaya kadangkala sulit membedakan apalagi
kawin silang yang memberikan keturunan baru dibilang tionghoa/ urang cin dia
melayu/ urang melayu dibilang melayu dia tionghoa karena wajah / warna kulit
sama. ‘Urang cin’ di Bangka didatangkan pada awal abad ke-18 ketika pertambangan
resmi dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikahi penduduk
bumi putera, baik Bangka, Jawa maupun Bali. Maka, menurut Myra, ‘urang
cin’ di Bangka adalah “masyarakat
peranakan sebenarnya, yaitu darah campuran Tionghoa dan pribumi.” Jumlah ‘urang
cin’ muslim cukup besar, bahkan ada kuburan khusus untuk mereka di dekat kota
Mentok ( Bangka Barat). Sedangkan Tionghoa di Belitung datang pada pertengahan
abad ke-19 beserta istri-istri mereka. Mereka menjadi “peranakan berdasarkan
orientasi hidup.” Contohnya, ada perempuan yang menggantikan pakaian
Tionghoanya dengan pakaian bumiputera. Mereka mengganti baju kurung dengan
kebaya, celana dengan sarung. “Di zaman dahulu wanita mengunyah sirih.
Perbedaan
terbesar dalam bahasa. Di Bangka, peranakan Tionghoa berbahasa Melayu-Bangka
yang khas bercampur kata-kata dialek Hakka. Di Belitung, peranakan Tionghoa
berbahasa Hakka murni yang dibagi dalam “bahasa ibu” dan “bahasa ayah.” Kaum
perempuan berbahasa ibu dengan nada khas dan bercampur bahasa Melayu. Lelaki
berbahasa ayah atau Hakka murni; jika berbicara dengan bahasa ibu dianggap
aneh. Dewasa ini bahasa Hakka terancam punah. Anak-anak kecil di Belitung bisa
bahasa Hakka namun ketika pindah ke Jakarta jarang mau menggunakannya karena
malu atau pergaulan.
Yang
uniknya lagi, tidak ada kota di Indonesia yang penulisan nama jalannya
menggunakan tiga bahasa selain Sungailiat, ibu kota Kabupaten Bangka, Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Di sana, setiap papan nama jalan ditulis menggunakan
bahasa Indonesia, yang letaknya paling atas, lalu bahasa Arab dan bahasa
Mandarin. ”Harmonisasi antarwarga Melayu dan Tionghoa di Bangka begitu kental
dan mesra. Kebiasaan ini sudah berlangsung sejak nenek moyang kami sehingga
kami wajib merawatnya harus diakui, antara Bangka dan masyarakat Tionghoa sudah
seperti dua sisi mata uang. Di pulau ini, kelompok masyarakat Tionghoa telah
menyatu dengan tanah setempat selama ratusan tahun. Budayawan Bangka, Akhmad
Elvian, menjelaskan, masyarakat Tionghoa mulai hadir di Pulau Bangka selama
periode 1757-1776 atas kehendak Sultan Ahmad Najamuddin Adikusumo, putra Sultan
Mahmud Badaruddin II, yang saat itu memimpin Kerajaan Sriwijaya. Tujuan utama
mendatangkan mereka adalah untuk meningkatkan produksi dan kualitas pengolahan
timah sebab warga Tionghoa dinilai lebih terampil dan sudah menguasai teknologi
penambangan timah.
Gelombang
berikutnya didatangkan lagi para petani, tukang jahit, dan tukang kayu.
Kehadiran beragam profesi itu dimaksudkan agar terjalin hubungan yang lebih
luas antara warga asal China dan masyarakat setempat. Para warga asal China
yang datang ke Bangka saat itu umumnya laki-laki dan tidak membawa keluarga.
Seiring dengan perjalanan waktu, mereka pun akhirnya memilih bertahan di Bangka
dengan menikahi perempuan-perempuan pribumi dan Melayu di sana. ”Jadi,
masyarakat Tionghoa di Bangka saat ini merupakan keturunan pribumi dan Melayu.
Hubungan persaudaraan dan keharmonisan erat yang terjalin antara masyarakat
Tionghoa dan Melayu di Bangka selama ini karena mereka umumnya memiliki garis
keturunan yang sama,” ujar Akhmad. Dengan adanya asimilasi yang kuat melalui
perkawinan itu akhirnya berkembang penyebutan di kalangan masyarakat Bangka,
yakni fan ngin, to ngin jit jong, yang berarti ’pribumi, Melayu, dan Tionghoa
semuanya sama dan setara’. ”Karena itu, hubungan kekeluargaan antarwarga
Melayu, Tionghoa, dan pribumi di Bangka tidak lahir secara kebetulan demi
menjaga stabilitas wilayah, tetapi karena merasa sebagai satu keluarga besar,”
Saat
ini, populasi warga Tionghoa di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sekitar 30
persen dari total 1,2 juta jiwa penduduk wilayah itu. Mereka menekuni berbagai
profesi, seperti pengusaha, petani, nelayan, tukang jahit, serta penjual sayur,
ikan, dan buah-buahan. Ada juga guru dan karyawan. Tempat tinggal mereka pun
tidak selalu terkonsentrasi di lokasi tertentu, tetapi cenderung membaur dengan
masyarakat dari etnis dan agama lain. Itu sebabnya, pembauran berlangsung
alami. ”Sejak kecil, saya sudah bergaul dan bermain bersama anak-anak warga
Tionghoa. Kami bersahabat kental sehingga saya dan beberapa teman yang Melayu
bisa berbicara bahasa Mandarin dengan lancar. Orangtua kami pun selalu berpesan
bahwa kami dengan orang Tionghoa adalah saudara dekat,” kata Sudirman (35),
warga Melayu di Pasir Putih, Kecamatan Nangkoi, Kota Pangkal Pinang. Jika ada
warga Tionghoa menggelar hajatan atau dalam kedukaan, tetangganya warga Melayu
atau etnis lain selalu dilibatkan. Begitu pula sebaliknya, jika etnis lain
melakukan kegiatan serupa, warga Tionghoa pun bahu-membahu untuk memasak,
mengurusi tamu, dan lain-lain. Toleransi juga di tunjukkan oleh ‘urang melayu’
yang terbilang sebagai mayoritas dengan selalu memberikan kebebasan kepada
’urang cin’ untuk menggelar acara-acara besar seperti ‘sembayang rebut’ (salah
satu upacara penghormatan leluhur) dan lainnya tanpa ada kesulitan apapun.
Toleransi
yang lain juga tergambar dari makanan. Yah makanan, masyarakat Bangka Belitung
baik ‘urang melayu’ maupun ‘urang cin’ banyak sekali yang membuka warung makan
disisi jalan sampai pantai. ‘Urang cin’ di Bangka memiliki kebebasan untuk
menjual makanan yang halal bagi etnis mereka dan tidak hala bagi umat
muslim,misalnya menjual lauk pauk yang berbahan babi. Sikap toleransi di
tunjukkan oleh ‘urang cin’ jika ada seorang muslim yang mampir ke warung dengan
penjuangnya ‘urang cin’ , dengan sigap ‘urang cin, akan memberi tau bahwa ada
masakan –masakan tertentu yang bebbahan dasar babi yang haram bagi ‘urang
melayu’ sebagai muslim, dan akan mempersilahkan untuk memilih masakan yang
terbuat dari bahan-bahan yang halal bagi muslim. Kebersamaan antar etni ini
memnag sudah sampai ke titik saling ketergantungan, ‘ urang cin’ merasa sulit mendapatkan makanan pasar
seperti ikan, sayuran dan lainnya saat ‘urang melayu’ libur dalam rangka
perayaan hari-hari besar keagamaan seperti idul fitri dan idul adha, karena
penjual di pasar di dominasi oleh masyarakat melayu. Begitu pula dengan ‘urang
melayu’ , mereka akan merasa kesulitanuntuk berbelanja di toko- toko yang
menjual sembako, baju, obat-obatan dan perlengkapan lainnya pada saat ‘kongian’
atau hari raya tionghoa, karena pemilik toko yang menjual barang –barang
tersebut adalah ‘ urang cin’. Di sinilah terlihat contoh kecil betapa erat
hubungan kedua etnis ini dalam berbagai hal.
Eratnya
kebersamaan ini membuat hampir tidak ada konflik sosial yang melibatkan etnis
di Bangka. Apalagi, pekerjaan yang ditekuni dan jenis rumah yang ditempati pun
hampir sama sehingga nyaris terbebas dari kecemburuan sosial. Hubungan erta
juga terjalin dengan adanya putra-putri tionghoa yang menikah dengan putra-putri
melayu yang menyebabkan terjalinan hubungan persaudaraan darah yang membuat
hubungan kedua etnis ini semakin erat. Uskup Pangkal Pinang Mgr Hilarius Moa
Nurak SVD mengakui, bahwa persaudaraan yang terbina melalui perkawinan telah
membuat hubungan antara warga Tionghoa, Melayu, dan Islam di Bangka Belitung
nyaris tanpa sekat. Beberapa tahun lalu pernah ada pihak yang melakukan
provokasi guna membenturkan warga Tionghoa dengan Melayu dan Islam di wilayah
itu, tetapi tidak berhasil. ”Harmonisasi seperti ini harus terus terbina dan
terpelihara. Namun, para pembuat kebijakan pun perlu mengayomi semua pihak agar
kebersamaan yang telah terjalin di tengah masyarakat tidak dihancurkan oleh
kepentingan politik sesaat.
Maka
dari itu, masyarakat Bangka Belitung dengan segala berbedaannya bertujuan agar
tetap bersatu untuk sesuatu yang lebih baik lagi. Menjunjung tinggi toleransi
demi terciptanya kerukunan antar sesama.
Sumber
:
https://chunghwahweekoan.wordpress.com/sejarah/353-2/sejarah-suku-tionghoa-di-bangka-belitung/
https://id.scribd.com/doc/45305128/Pembauran-Etnis-China-di- Indonesia
http://historia.id/budaya/peranakan-tionghoa-di-bangkabelitung
http://www.tionghoa.info/orang-tionghoa-dalam-sejarah-pertambangan-indonesia
http://bandiklat.babelprov.go.id/2016/05/02/keunikan-pembauran-etnik-tionghoa-dan-melayu-di-bangka-belitung-tumbuhkan-nasionalisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar