PERANG KETUPAT
Lagu
Timang Burong (Menimang Burung) pengiring tari serimbang itu dilantunkan secara
lembut. Lagu itu, diiringi suara gendang dari enam penabuh serta alunan dawai
(alat musik), untuk mengiringi gerak lima penari remaja yang menyambut tamu. Dengan
baju dan selendang merah, kelima penari menyita perhatian ribuan pengunjung
yang memadati Pantai Pasir Kuning, Tempilang, Bangka Barat, Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung.
Tarian
yang menggambarkan kegembiraan sekumpulan burung siang menyambut kehadiran
seekor burung malam itu merupakan pembukaan dari rangkaian tradisi perang
ketupat, khas Kecamatan Tempilang di Bangka Belitung. Tradisi tersebut
menggambarkan perang terhadap makhluk-makhluk halus yang jahat, yang sering
mengganggu kehidupan masyarakat.
Tradisi
itu sebenarnya sudah dimulai pada malam sebelum perang ketupat dimulai. Pada
malam hari sebelumnya, tiga dukun Kecamatan Tempilang, yaitu dukun darat, dukun
laut, dan dukun yang paling senior, memulai upacara Penimbongan.Upacara
dimaksudkan untuk memberi makan makhluk halus yang dipercaya bertempat tinggal
di darat. Sesaji untuk makanan makhluk halus itu diletakkan di atas penimbong
atau rumah-rumahan dari kayu menangor.
Secara
bergantian, ketiga dukun itu memanggil roh-roh di Gunung Panden, yaitu Akek
Sekerincing, Besi Akek Simpai, Akek Bejanggut Kawat, Datuk Segenter Alam, Putri
Urai Emas, Putri Lepek Panden, serta makhluk halus yang bermukim di Gunung
Mares, yaitu Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin. Menurut para dukun,
makhluk-makhluk halus itu bertabiat baik dan menjadi penjaga Desa Tempilang
dari serangan roh-roh jahat. Karena itu, mereka harus diberi makan agar tetap
bersikap baik terhadap warga desa.
Pada
upacara Penimbongan itu digelar tari campak, tari serimbang, tari kedidi, dan
tari seramo. Tari campak dilakukan dalam beberapa tahap dengan iringan pantun
yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan. Tari ini juga biasa digelar dalam
pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya. Tari kedidi lebih mirip dengan
peragaan jurus-jurus silat yang diilhami gerakan lincah burung kedidi,
sedangkan tari seramo merupakan tari penutup yang menggambarkan pertempuran
habis-habisan antara kebenaran melawan kejahatan. Seusai upacara Penimbongan,
para dukun itu kembali mengadakan upacara Ngancak, yakni pada tengah malamnya.
Upacara Ngancak dimaksudkan memberi makan kepada makhluk halus penunggu laut.
Diterangi
empat batang lilin, dukun laut membuka acara itu dengan membaca mantra-mantra
pemanggil makhluk halus penunggu laut, di antara bebatuan tepi Pantai Pasir Kuning,
Tempilang. Nama-nama makhluk halus itu diyakini tidak boleh diberitahukan
kepada masyarakat agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Seperti
pada upacara Penimbongan, upacara Ngancak juga dilengkapi sesaji bagi makhluk
halus penunggu laut. Sesaji itu dipercaya merupakan makanan kesukaan siluman
buaya, yaitu buk pulot atau nasi ketan, telur rebus, dan pisang rejang.
Pagi
harinya, seusai tari serimbang digelar, dukun darat dan dukun laut bersatu
merapal mantra di depan wadah yang berisi 40 ketupat. Mereka juga berdoa kepada
Yang Maha Kuasa agar perayaan tersebut dilindungi, jauh dari bencana. Di tengah
membaca mantra, dukun darat tiba-tiba tak sadarkan diri (trance) dan terjatuh.
Dukun laut menolongnya dengan membaca beberapa mantra, dan akhirnya dukun darat
pun sadar dalam hitungan detik.
Menurut
beberapa orang tua di tempat tersebut, ketika itu dukun darat sedang
berhubungan dengan arwah para leluhur. Kenyataannya, setelah siuman, dukun
darat menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan (pantangan) warga
selama tiga hari, antara lain melaut, bertengkar, menjuntai kaki dari sampan ke
laut, menjemur pakaian di pagar, dan mencuci kelambu serta cincin di sungai
atau laut.
Setelah
semua ritual doa selesai, kedua dukun itu langsung menata ketupat di atas
sehelai tikar pandan. Sepuluh ketupat menghadap ke sisi darat dan sepuluh
lainnya ke sisi laut. Kemudian, 20 pemuda yang menjadi peserta perang ketupat
juga berhadapan dalam dua kelompok, menghadap ke laut dan ke darat.
Dukun
darat memberi contoh dengan melemparkan ketupat ke punggung dukun laut dan
kemudian dibalas, tetapi ketupat tidak boleh dilemparkan ke arah kepala.
Kemudian, dengan aba-aba peluit dari dukun laut, perang ketupat pun dimulai. Ke-20
pemuda langsung menghambur ke tengah dan saling melemparkan ketupat ke arah
lawan mereka. Semua bersemangat melemparkan ketupat sekeras-kerasnya dan
berebut ketupat yang jatuh. Keadaan kacau sampai dukun laut meniup peluitnya
tanda usai perang dan mereka pun berjabat tangan. Selanjutnya, perang babak
kedua dimulai. Prosesnya sama dengan yang pertama, tetapi pesertanya diganti.
Perang kali ini pun tidak kalah serunya karena semua peserta melempar ketupat
dengan penuh emosi. Rangkaian upacara itu ditutup dengan upacara Nganyot Perae
atau menghanyutkan perahu mainan dari kayu ke laut. Upacara itu dimaksudkan
mengantar para makhluk halus pulang agar tidak mengganggu masyarakat Tempilang.
Tulisan
diatas merupakan, agenda ritual perang ketupat pada zaman dahulu kala, masih
pada zaman animism yaitu kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus dan masih
jauh dari masuknya islam. Kentalnya pengaruh dukun dan dominannya aspek
animisme (kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus) dalam tradisi perang
ketupat terjadi karena budaya ini merupakan warisan masyarakat asli Pulau
Bangka yang belum beragama, atau sering disebut sebagai orang Lom.” Perang
ketupat” merupakan salah satu budaya asli Bangka yang dijalankan oleh
masyarakat Tempilang, Kabupaten Bangka. Perang Ketupat diadakan pada bulah
ruwah, atau bulan Sya’ban dalam kalender Hijriyah.
Biasanya dimulai pada tanggal 15 Sya’ban atau minggu ketiga dibulan tersebut. Perang ketupat sudah ada sejak ratusan tahun ditanah tempilang ,berdasarkan cerita rakyat, ketika Gunung Krakatu meletus pada tahun 1883, tradisi ini sudah ada.
Biasanya dimulai pada tanggal 15 Sya’ban atau minggu ketiga dibulan tersebut. Perang ketupat sudah ada sejak ratusan tahun ditanah tempilang ,berdasarkan cerita rakyat, ketika Gunung Krakatu meletus pada tahun 1883, tradisi ini sudah ada.
Perayaan perang ketupat dijaman sekarang pun
masih relative sama dengan perayaan dijaman dahulu. Akan tetapi ada sedikit
pergeseran budaya terhadap perang ketupat. Kentalnya pengaruh dukun dan
dominannya aspek animisme (kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus) dalam
tradisi perang ketupat terjadi karena budaya ini merupakan warisan masyarakat
asli Pulau Bangka yang belum beragama, atau sering disebut sebagai orang Lom.
Namun,
berdasarkan cerita rakyat, ketika Gunung Krakatu meletus pada tahun 1883,
tradisi ini sudah ada. Seiring dengan masuknya pengaruh Islam ke Bangka,
tradisi tersebut pun mengalami beberapa perubahan cara dan pergeseran
substansi. Meskipun tetap turut menonton perang ketupat, sebagian besar warga
yang beragama Islam telah mengubah beberapa ritual menjadi bernuansa islami. Perayaan
yang dulunya difokuskan bagi roh-roh halus, kini sebagian ditujukan untuk
mengenang arwah leluhur. Dan ada yang mengatakan ketupat yang digunakan untuk
ritual ‘perang’ juga pernah dirubah bukan berisi beras tetapi berisi pasir,
dengantujuan menjauhi kemubadziran. Demikian pula dengan sesaji, diubah menjadi
kenduri atau makanan yang kumpulkan untuk dimakan bersama tanpa melupakan
keaslian dari tradisi tersebut.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar